Tuesday, May 1, 2012

"BIAR DIA YANG MATI...."

Kemarin saya melihat sebuah iklan (?) di bagian belakang sebuah bis kota. Tidak begitu saya perhatikan, sebab hanya sekilas saja saya melihatnya. Maklum,  saat itu saya sedang menyetir di keramaian lalu lintas.

Sekilas sempat saya baca kata-kata promosi iklan tersebut. Amat menarik dan mengena. Bunyinya: "Dia yang dapat duit, kita yang mati".

Entah ke mana juntrung kalimat tersebut. Saya benar-benar tidak tahu. Tetapi saya ingin memberi makna sendiri terhadap ungkapan yang sangat bermanfaat itu. Maknanya saya kaitkan dengan globalisasi yang menerpa bangsa kita dengan sangat deras selama ini.

Tak terlupakan oleh saya bagaimana Presiden Soeharto pada akhir 1990-an berulang-ulang mengingatkan bahwa Indonesia akan diterpa arus globalisasi. Arus itu mendunia, sehingga kita tidak akan mampu menghindarinya. Maksudnya, biar kita mempersiapkan diri.

Sekalipun saat itu globalisasi masih pada taraf gejala, namun saya yakin bahwa gejala tersebut telah menyebabkan Soeharto mengendurkan  sekrup-sekrup kendali rezim Orde Baru. Rezim Soeharto secara perlahan-lahan mengurangi cengkeraman politiknya, meskipun rakyat sendiri mungkin tidak merasakannya.

Ingatlah bagaimana Soeharto membiarkan saja LSM menggeliat. Sebagai contoh, dia biarkan munculnya KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) beberapa waktu sebelum Pemilu 1997. Begitu juga dengan aktifitas PRD (Partai Rakyat Demokratik). 

Menyaksikan perkembangan tersebut, saya menggumam di dalam hati: "Rezim Soeharto sedang menggali kuburannya sendiri". Saya tidak memahami langkah yang ditempuh Soeharto. Sebagai pengamat, semula saya bahkan menilai dia sudah salah langkah.

Saya baru memahami langkah Soeharto pada hari saya dilantik menjadi salah seorang Deputi Kepala BP-7 Pusat pada awal April 1997. Usai acara pelantikan, Mensesneg Moerdiono mengungkapkan kepada pimpinan BP-7 pesan Soeharto bahwa: "Sekarang ini kita tidak boleh lagi  mengatakan 'pokoknya begini', karena rakyat sudah pintar. Ini merupakan hasil pembangunan".

Langkah Soeharto lebih mengarah lagi ketika dia menginstruksikan BP-7 untuk memberikan 'Pembekalan' kepada 500 anggota baru DPR, yang belum dilantik, di Istana Bogor pada bulan September 1997. Baik materi maupun narasumber untuk pembekalan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada BP-7.

Tema umum pembekalan tentu saja tidak jauh dari aspek-aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik menyongsong era globalisasi. Narasumbernya adalah para pakar, baik yang pro-Soeharto maupun yang berseberangan dengannya.

Dalam hubungan ini, sama sekali tidak ada keberatan dari Soeharto. Selain membuka acara tersebut, Soeharto mengamati terus, baik secara dekat maupun dari jauh. Dan jauh dari 'protes', dia bahkan membiarkannya bergulir apa adanya. Tidak ada monitoring, baik secara manual maupun elektronik, padahal semua diskusi bersifat terbuka. Situasinya memang berbeda sekali dengan pola penataran P-4 yang dan membosankan.

Oleh sebab itu, kiranya tidak akan salah bila saya katakan bahwa sebenarnya reformasi berawal dari Pembekalan tersebut. Reformasi itu kemudian 'memakan' Soeharto sendiri. Baru kemudian saya ketahui bahwa Soeharto menyadari bahwa dia sendiri yang akan menjadi korbannya. Namun dia membiarkannya saja. 

Sementara pengamat asing berpendapat bahwa hal ini dikarenakan rezim Soeharto sudah lelah ('aging'), Soeharto sendiri tidak melihatnya seperti itu. Kepada saya, dia menyingkapkan alasannya sendiri. Hal ini sudah saya ungkapkan dalam otobiografi saya, Bukan Tanda Jasa.

Dalam tahun-tahun belakangan ini kita saksikan bahwa globalisasi itu sudah menghancurkan sendi-sendi kemandirian bangsa kita. Orang bilang reformasi telah membuahkan demokrasi yang kebablasan. Begitu juga dengan globalisasi.

Dalam kebablasan globalisasi itu hampir semua aspek kehidupan kita sekarang 'dikuasai' asing. Bangsa kita seakan-akan termangu menghadapi terpaan arus deras globalisasi, sementara Pemerintah pun hanyut di dalamnya.

Menyikapi keadaan ini, berbagai pihak berusaha mengeduk keuntungan. Semua yang dapat dijual atau dijadikan uang, mereka impor. Barang-barang yang mampu kita produksi di dalam negeri pun di impor. Buah, sayur-sayuran, ikan dan barang-barang manufaktur diimpor. Sampai-sampai pemain bola dan basket pun mereka masukkan ke negeri ini.

Tinggallah rakyat yang hidup merana dan tak berdaya. Karena itu ungkapan "dia yang dapat duit, kita yang mati", pas benar dengan situasi sekarang.

Tentu saja situasi ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terus. Kita harus membalikkan situasi ini menjadi "biar dia yang mati, kita yang dapat duit". Bagaimana caranya? Itulah tantangan bagi orang yang berpikir (Al Qur'an). Dalam ungkapan orang Singapore: "Ting, ting!" (maksudnya, think, think!---