CALON GUBERNUR DAN POLITIK KENAIKAN HARGA BBM
Tujuan seseorang memasuki dunia politik adalah untuk meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Itu sudah pasti, sekalipun tak terucapkan kepada orang lain.
Kalau ada tujuan selain daripada keuntungan pribadi, maka dapat dipastikan orang tersebut sangat idealis. Politisi yang idealis seperti yang saya maksudkan itu sudah tentu akan menomorsatukan kepentingan publik di atas kepentingannya sendiri. Tetapi, berapa banyakkah politisi yang sedemikian sekarang ini di Indonesia?
Banyak politisi yang tidak menduga bahwa mereka
akan mendapat keuntungan dari proses politik yang tengah berlangsung di
sekitar mereka. Boleh dikatakan mereka 'terseret arus' keberuntungan. Atau, "seperti mendapat durian runtuh", kata sebagian orang.
Sebaliknya, kendati semua politisi ingin mendapat keuntungan dari proses politik, tidak sedikit di antara mereka yang gagal mendapatkannya. Alih-alih memperoleh keuntungan, justru kerugian yang mereka alami. Mereka 'terjebak' dalam arus politik yang merugikan.
"Politik sering mengambil korban". Tentu ungkapan seperti ini tidak asing di telinga kita.
Korban pertama (yang saya tahu!) dari politisasi kenaikan harga BBM kemarin adalah Ketua Fraksi PD di DPR, Dr Jafar Hafsah. Dia tergilas oleh keinginan Pimpinan Pusat PD untuk 'memelihara' hubungan baik dengan PG demi menyelamatkan Setgab. Jafar yang salah kutip (?) ucapan Ketua Umum PG, Aburizal Bakrie, tentang besaran subsidi harga BBM, dinon-aktifkan dari kedudukannya sebagai Ketua Fraksi.
Korban-korban berikutnya akan 'berjatuhan' dalam beberapa hari, minggu atau bulan mendatang. Mereka adalah para calon kepala daerah di seluruh Indonesia yang terjebak dalam kepolitikan sejumlah partai pendukung Pemerintahan SBY.
Elektabilitas mereka akan sangat terpengaruh oleh melorotnya popularitas partai-partai koalisi di luar PKS. Tidak perlu saya sebutkan lagi bahwa partai-partai yang saya maksudkan itu adalah PD, PG, PAN, PPP, dan PKB.
Mari kita batasi gambaran ini di DKI saja, sekalipun saya percaya bahwa hal yang sama tidak mustahil bisa terjadi pula di daerah-daerah lain.
Pasangan cagub Fauzi Bowo dan cawagub Nachrowi tampaknya berada pada posisi yang sangat tidak diuntungkan karena didukung oleh PD dan PAN. Memang Hanura ikut mensponsori pasangan ini, namun popularitasnya tidak akan mampu mengkatrol elektabilitas pasangan ini.
Apa pasal? Yaah, sederhana saja, 'kemarahan' masyarakat terhadap PD pada saat ini tambah memuncak. Apalagi ditambah dengan PAN yang juga mendukung kenaikan harga BBM.
Cagub Alex Nurdin yang digadangkan oleh PG beserta cawagub Nono Sampono juga akan sangat dirugikan oleh ketidaksediaan Fraksi PG di DPR untuk menolak kenaikan harga BBM. Memang perlu diakui bahwa simpati masyarakat terhadap PG juga sedang merosot.
Adapun posisi cawagub Hidayat Nurwahid seharusnya sangat diuntungkan oleh kebijakan PKS yang akhir-akhir ini dengan tegas dan konsisten menolak kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Namun dia pun akan dirugikan oleh pasangannya yang berasal dari PAN, Didik J Rachbini. Jadi, pasangan ini akan terpaksa harus bertumpu semata-mata pada PKS.
Sementara itu, pasangan cagub Joko Widodo dan cawagub Ahok (maaf, saya lupa nama panjangnya), justru terseret dalam arus keberuntungan. Kedua partai pendukungnya, PDI-P dan Gerindra, adalah penentang kenaikan harga BBM yang paling menonjol. Mereka akan menuai panen besar dalam Pilkada DKI mendatang, seiring dengan meningkatnya popularitas PDI-P dan Gerindra.
Peraih keberuntungan lainnya adalah pasangan-pasangan cagub dan cawagub yang independen. Mereka akan mendulang sebagian suara dari partai-partai politik yang tidak disukai masyarakat Jakarta.
Jadi, siapa yang akan meraup keuntungan besar di antara para cagub dan cawagub tersebut? Hmmh, sulit dikatakan, apalagi analisa ini hanya berdasarkan pada satu variabel saja, yaitu kenaikan harga BBM.
Namun, apabila kita bisa mengecilkan peranan kemistri-kemistri lain, saya rasa Jokowi dan Ahok berada pada posisi terdepan. Meskipun begitu, saya tidak mau menganggap remeh para calon independen.
O iya, sebagai catatan tambahan, saya juga tidak ingin mengatakan bahwa para simpatisan PD, PG, PAN, PPP, dan PKB di akar rumput akan memilih calon-calon yang diusung oleh partai-partai tersebut. Cukup banyak di antara simpatisan ini yang kecewa lantaran idola mereka ternyata telah melupakan penderitaan mereka dan justru mendukung kenaikan harga BBM yang menyengsarakan rakyat.
Kelompok simpatisan yang kecewa ini, saya kira, akan mengalihkan dukungan mereka kepada calon-calon yang tidak didukung oleh partai mereka.
Akhirnya, saya lebih suka berada pada posisi yang aman dan enak didengar: wait and see.---