Saturday, March 31, 2012

CALON GUBERNUR DAN POLITIK KENAIKAN HARGA BBM 

Tujuan seseorang memasuki dunia politik adalah untuk meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Itu sudah pasti, sekalipun tak terucapkan kepada orang lain. 

Kalau ada tujuan selain daripada keuntungan pribadi, maka dapat dipastikan orang tersebut sangat idealis. Politisi yang idealis seperti yang saya maksudkan itu sudah tentu akan menomorsatukan kepentingan publik di atas kepentingannya sendiri. Tetapi, berapa banyakkah politisi yang sedemikian sekarang ini di Indonesia?
  
Banyak politisi yang tidak menduga bahwa mereka akan mendapat keuntungan dari proses politik yang tengah berlangsung di sekitar mereka. Boleh dikatakan mereka 'terseret arus' keberuntungan. Atau, "seperti mendapat durian runtuh", kata sebagian orang.

Sebaliknya, kendati semua politisi ingin mendapat  keuntungan dari proses politik, tidak sedikit di antara mereka yang gagal mendapatkannya. Alih-alih memperoleh keuntungan, justru kerugian yang mereka alami. Mereka 'terjebak' dalam arus politik yang merugikan.

"Politik sering mengambil korban". Tentu ungkapan seperti ini tidak asing di telinga kita.

Korban pertama (yang saya tahu!) dari politisasi kenaikan harga BBM kemarin adalah Ketua Fraksi PD di DPR, Dr Jafar Hafsah. Dia tergilas oleh keinginan Pimpinan Pusat PD untuk 'memelihara' hubungan baik dengan PG demi menyelamatkan Setgab. Jafar yang salah kutip (?) ucapan Ketua Umum PG, Aburizal Bakrie, tentang besaran subsidi harga BBM, dinon-aktifkan dari kedudukannya sebagai Ketua Fraksi.

Korban-korban berikutnya akan 'berjatuhan' dalam beberapa hari, minggu atau bulan mendatang. Mereka adalah para calon kepala daerah di seluruh Indonesia yang  terjebak dalam kepolitikan sejumlah partai pendukung  Pemerintahan SBY. 

Elektabilitas mereka akan sangat terpengaruh oleh melorotnya popularitas partai-partai koalisi di luar PKS. Tidak perlu saya sebutkan lagi bahwa partai-partai yang saya maksudkan itu adalah PD, PG, PAN, PPP, dan PKB.

Mari kita batasi gambaran ini di DKI saja, sekalipun saya percaya bahwa hal yang sama tidak mustahil bisa terjadi pula di daerah-daerah lain. 

Pasangan cagub Fauzi Bowo dan cawagub Nachrowi tampaknya berada pada posisi yang sangat tidak diuntungkan karena didukung oleh PD dan PAN. Memang Hanura ikut mensponsori pasangan ini, namun popularitasnya tidak akan mampu mengkatrol elektabilitas pasangan ini. 

Apa pasal? Yaah, sederhana saja, 'kemarahan' masyarakat terhadap PD pada saat ini tambah memuncak. Apalagi ditambah dengan PAN yang juga mendukung kenaikan harga BBM.

Cagub Alex Nurdin yang digadangkan oleh PG beserta cawagub Nono Sampono juga akan sangat dirugikan oleh ketidaksediaan Fraksi PG di DPR untuk menolak kenaikan harga BBM. Memang perlu diakui bahwa simpati masyarakat terhadap PG juga sedang merosot.
 
Adapun posisi cawagub Hidayat Nurwahid seharusnya sangat diuntungkan oleh kebijakan PKS yang akhir-akhir ini dengan tegas dan konsisten menolak kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Namun dia pun akan dirugikan oleh pasangannya yang berasal dari PAN, Didik J Rachbini. Jadi, pasangan ini akan terpaksa harus bertumpu semata-mata pada PKS.

Sementara itu, pasangan cagub Joko Widodo dan cawagub Ahok (maaf, saya lupa nama panjangnya), justru terseret dalam arus keberuntungan. Kedua partai pendukungnya, PDI-P dan Gerindra, adalah penentang kenaikan harga BBM yang paling menonjol. Mereka akan menuai panen besar dalam Pilkada DKI mendatang, seiring dengan meningkatnya popularitas PDI-P dan Gerindra.

Peraih keberuntungan lainnya adalah pasangan-pasangan cagub dan cawagub yang independen. Mereka akan mendulang sebagian suara dari partai-partai politik yang tidak disukai masyarakat Jakarta. 

Jadi, siapa yang akan meraup keuntungan besar di antara para cagub dan cawagub tersebut?  Hmmh, sulit dikatakan, apalagi analisa ini hanya berdasarkan pada satu variabel saja, yaitu kenaikan harga BBM. 

Namun, apabila kita bisa mengecilkan peranan kemistri-kemistri lain, saya rasa Jokowi dan Ahok berada pada posisi terdepan. Meskipun begitu, saya tidak mau menganggap remeh para calon independen.

O iya, sebagai catatan tambahan, saya juga tidak ingin mengatakan bahwa para simpatisan PD, PG, PAN, PPP, dan PKB di akar rumput akan memilih calon-calon yang diusung oleh partai-partai tersebut. Cukup banyak di antara simpatisan ini yang kecewa lantaran idola mereka ternyata telah melupakan penderitaan mereka dan justru mendukung kenaikan harga BBM yang menyengsarakan rakyat.

Kelompok simpatisan yang kecewa ini, saya kira, akan mengalihkan dukungan mereka kepada calon-calon yang tidak didukung oleh partai mereka.

Akhirnya, saya lebih suka berada pada posisi yang aman dan enak didengar: wait and see.---





Thursday, March 29, 2012

RAKYAT, PEMERINTAH DAN KENAIKAN HARGA BBM

Para politisi pendukung Pemerintahan SBY tidak habis pikir mengapa banyak orang menentang kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Mereka tidak berhasil meyakinkan para penentang kebijakan SBY ini, padahal mulut mereka sudah berbusa-busa.

Inti argumentasi mereka adalah bahwa defisit APBN yang disebabkan oleh semakin besarnya subsidi BBM sudah tidak dapat ditolerir lagi.  Kalau defisit itu dibiarkan terus membengkak, seperti selama ini, maka bisa-bisa negeri ini akan bangkrut.

Sah-sah saja argumentasi seperti itu, apalagi tidak sedikit  pula orang yang bisa memahaminya. Namun pemahaman kalangan ini lebih banyak pada tataran wacana atau verbal.

Sebaliknya dengan pandangan yang menentang kebijakan yang menaikkan harga BBM. Pandangan ini ada dan bahkan eksistensinya sangat kuat baik di tataran wacana maupun pada tataran tindakan. Sudah lebih dari satu minggu ini Indonesia terus menerus dilanda demonstrasi-demonstrasi.  Yang berdemo itu bukan saja kaum intelektual, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para mahasiswa, melainkan juga kaum pekerja.

Dalam kaitan ini harus diakui bahwa argumentasi para penentang kebijakan SBY lebih dapat meyakinkan masyarakat. Kekuatan argumentasi ini bahkan berhasil memecah soliditas Setgab, partai-partai pendukung Pemerintah SBY, yang  selama ini memang sudah rentan. Di DPR pun hingga kini pihak Pemerintah masih terus bergulat untuk meyakinkan  oposan-oposan mereka.

Namun tetap saja kenyataannya, hiruk pikuk di jalan-jalan dan di media masa telah berhasil membuat  suara-suara pro-Pemerintah menjadi tenggelam. Karena itu, rasa kecewa dan frustrasi semakin menyelimuti para pendukung utama SBY di Partai Demokrat.

Maka muncullah perlawanan mereka dari sudut pandang yang lain. Mereka katakan bahwa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya juga berkali-kali menaikkan harga BBM. Diungkit-ungkitlah, kebijakan Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Habibie tidak disebut-sebut, sebab di masa pemerintahannya harga BBM stabil.

Pengungkapan hal ini oleh mereka tentu saja dimaksudkan untuk membela SBY.  Mereka ingin mengatakan bahwa bukan SBY saja yang menaikkan harga BBM. Lalu dimunculkanlah spekulasi bahwa ada pihak yang tidak senang kepada SBY. Pihak tersebut ingin menjatuhkannya dengan memanfaatkan momentum penolakan rakyat terhadap kenaikan harga BBM.

Tentu, sekali lagi, pandangan seperti itu sah-sah saja; boleh-boleh saja. Hanya saja, menurut hemat saya, pengetahuan para pendukung SBY tersebut terlalu tertuju (atau, terbatas?) pada sebagian fakta menyangkut kebijakan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Mereka tidak tahu (atau tidak mau tahu?) akan lingkungan di mana fakta tersebut eksis. 

Secara singkat saja saya katakan bahwa memang rakyat tidak menolak (secara massif) kenaikan BBM di masa  lampau, karena rakyat bisa, mau dan mampu menerimanya. Alasannya?

Pertama, kondisi ekonomi rakyat kini lebih buruk daripada masa sebelumnya. Memang angka-angka statistik sekarang ini menunjukkan performance perekonomian Indonesia yang cukup baik. Inflasi terkendali pada level yang rendah, ekspor meningkat, utang luar negeri berkurang, angka kemiskinan menurun, dlsb. Semua itu bahkan mendapat pengakuan dunia internasional yang telah memasukkan Indonesia dalam kelompok bergengsi G-20.

Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan rakyat semakin sulit. Besarnya impor produk pertanian telah menyengsarakan para petani; sendi-sendi kehidupan mereka terancam. Sementara itu, impor produk manufaktur telah menyebabkan para pengusaha menekan upah buruh, agar perusahaan dapat tetap berproduksi. Akibatnya, tentu saja, buruh kita tetap hidup dalam kemiskinan.

Kedua, pada saat ini Pemerintahan SBY sedang sangat tidak populer. Di satu pihak, korupsi marak di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di lain pihak,  Pemerintah tidak mampu memberantas korupsi itu dengan efektif. Tak tercegahkan, timbullah ketidakpercayaan terhadap Pemerintahan SBY.

Tidak kurang, kedua kenyataan itu telah membuat rakyat kehilangan harapan, bahkan juga frustrasi. Dalam keadaan demikian, tentu saja rakyat tidak bisa diajak berkompromi untuk menerima kenaikan harga BBM. Manalagi kalau diyakini bahwa kenaikan tersebut akan lebih mempersulit kehidupan mereka.---







 

Tuesday, March 27, 2012

TENTANG PEMINDAHAN IBUKOTA

Perkara pemindahan ibukota dari Jakarta ke tempat lain, muncul tenggelam dalam beberapa tahun terakhir ini. Yang terakhir isu ini diangkat oleh Ketua MPR, Taufik Kiemas, saat berkunjung ke Palangkaraya beberapa hari yang lalu.

Sudah kita ketahui bersama, Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, adalah salah satu kota calon pengganti Jakarta. Konon, Presiden Soekarno yang pertama kali mengusulkan gagasan ini. Tidak hanya mengusulkan, Bung Karno bahkan mengarsiteki kota Palangkaraya agar planologinya pas untuk sebuah ibukota negara.

Namun tidak semua orang sepaham dengan Bung Karno. Di masa Orde Baru, dan terutama lagi dalam 2 tahun terakhir ini, ada pemikiran untuk memindahkan ibukota dengan membangun sebuah kota yang benar-benar baru, yang tidak jauh letaknya dari Jakarta.

Mengapa ibukota harus dipindahkan dari Jakarta? Mengapa Jakarta tidak pas menjadi ibukota Republik Indonesia?

Bung Karno mendasarkan pendapatnya pada landasan geografi. Dia mau ibukota negara terletak di tengah-tengah ruang geografi Indonesia, sehingga memudahkan semua orang, dari ujung Timur sampai ujung Barat, untuk menjangkaunya. Di mata dia, Palangkaraya-lah yang paling memenuhi syarat untuk itu.

Pandangan yang lain berpendapat bahwa Jakarta sudah berkembang menjadi kota bisnis yang sangat besar, sehingga tidak nyaman lagi untuk menjadi sebuah ibukota negara. Jakarta sudah terlalu padat dengan lalulintasnya yang selalu macet. Agaknya Washington dan Canberra yang menjadi acuan mereka. Namun pendudukung gagasan ini tidak setuju kalau ibukota dipindahkan  ke kota lain di Pulau Jawa, yang jauh dari Jakarta. Maklum, bisa menimbulkan masalah politik baru.

Kedua pandangan atau alasan di atas, menurut hemat saya, tidaklah cukup untuk menyebabkan bangsa ini mengungsikan ibukota dari Jakarta. Alasan Bung Karno tidak kuat, karena mana ada sih (sepengetahuan saya) di dunia ini lokasi ibukota dari suatu negara dengan wilayah yang luas, benar-benar terletak di tengah-tengah lingkup geografinya? Lagi pula, lokasi seperti itu pun sekarang ini sudah tidak lagi relevan, karena sistem komunikasi dan transportasi kita yang sudah berkembang begitu pesat. 

Saya juga tidak melihat validitas argumentasi kedua. Sebab, Jakarta bukanlah satu-satunya kota di dunia yang menjadi ibukota negara yang sekaligus juga berfungsi sebagai "ibukota" bisnis. Sebut saja beberapa: Tokyo, Seoul, London, Paris, dan lain-lain.

Sebaiknya kita tidak lari dari persoalan yang pada ujungnya justru menimbulkan permasalahan yang lain lagi. Pasti, pemindahan ibukota ke lokasi lain akan membawa konsekuensi dana yang sangat besar. Pada saat ini saya yakin Indonesia tidak akan dapat memenuhinya. Antara lain, Pemerintah harus membangun fasilitas-fasilitas administrasif dan politik yang baru. Ibukota yang baru itu pun tidak mungkin eksis tanpa pembangunan fasilitas-fasilitas sosial dan budaya. Bayangkan bagaimana besarnya dana yang diperlukan. Mampukah kita?

Di satu pihak, memindahkan ibukota ke Palangkaraya akan menyebabkan mobilitas tinggi antara kota itu dengan kota-kota lain di Jawa. Sebab sebagian besar politisi kita berasal dari Jawa. Untuk ini biaya yang mudah terlihat dan yang tidak terlihat, juga akan besar sekali.

Di lain pihak, memindahkan ibukota ke lokasi baru yang tidak jauh dari Jakarta, seperti Jonggol misalnya, juga tidak menyelesaikan masalah. Dalam hal ini saya percaya para politisi kita akan tetap mempertahankan domisili mereka di Jakarta, sehingga lalu lintas antara kedua kota itu akan padat juga.

Jadi bagaimana penyelesaiannya? Ibukota kita sebaiknya tetap berada di Jakarta. Namun kita perlu menyelesaikan beberapa "masalah Jakarta" agar kota ini nyaman untuk dijadikan ibukota negara. Saya percaya bahwa masalah ini  akan dapat kita selesaikan dengan cepat dan baik, kalau memang ada kemauan politik.

Dalam kaitan ini, Jakarta harus tetap menjadi ibukota negara, tetapi tidak boleh lagi berfungsi sebagai ibukota bisnis. Pembangunan ekonomi dan kegiatan bisnis harus disebarkan (kalau mungkin) ke seluruh daerah. Indonesia harus mempunyai banyak ibukota bisnis, jangan tunggal seperti sekarang. Tentu saja langkah ini akan membuat tersedot dan mengalirnya sumber daya manusia Indonesia ke berbagai penjuru tanah air.

Kalau hal ini dapat kita lakukan, saya jamin, penduduk Jakarta akan sangat berkurang. Jakarta akan kembali menjadi kota yang nyaman dihuni seperti tahun 1950an-1980an. Jalanan tidak lagi macet seperti sekarang, sementara fasilitas seperti air dan listrik akan mudah dipenuhi oleh Pemerintah Jakarta. Ini semua karena jumlah penduduknya yang berkurang itu.

Tidak percaya? Silakan coba.---




 


Sunday, March 25, 2012


SUPERIORITAS LONDO

Semua kita tahu bahwa sebagian wilayah Indonesia sekarang ini pernah dijajah Belanda sampai selama 350 tahun, atau 3,5 abad. Wow, sungguh waktu yang sangat amat lama sekali. Of course, sungguh lama sekali. Masa itu dihitung sejak beralihnya 'kekuasaan' VOC, suatu kelompok saudagar Belanda yang datang ke mari, menjadi pemerintahan kolonial Belanda.

Tentu saja penjajahan yang begitu lama sangat membekas dalam otak bangsa kita sampai sekarang ini. Bekas atau kesan yang demikian terhadap kaum penjajah itu dapat disimpulkan dalam satu istilah saja: Londo. Istilah ini masih sangat populer di pedesaan Jawa sampai, yang saya amati sendiri, awal 1970an. Entah apa masih ada sekarang ini? Tidak tahu saya.

Kalau di Jakarta istilah "londo" itu sekarang tidak lagi dirujukkan kepada Belanda, tetapi semua orang kulit putih. Tentu saja, ini sampai istilah itu digantikan oleh sebutan lain yang lebih bersifat kultural: bule.

Dalam kehidupan masyarakat kita sampai kini, istilah "londo" itu mencerminkan pengakuan bangsa ini (atau hanya  elite politiknya saja?) akan superioritas orang kulit putih. Semua "orang putih" yang datang entah dari bagian dunia mana, kita pandang lebih unggul daripada bangsa kita sendiri. 

Bahkan secara kultural juga! Tidak percaya? Lihat saja di sinetron-sinetron kita. Tidak sedikit artis-artis kita yang berkulit putih dan berhidung mancung aliran blasteran. Jadi, londo blasteran saja lakunya bukan main di dunia persinetronan kita. (Londo asli juga mulai laku, meskipun baru dalam acara komedi di televisi).

Di arena politik ada satu atau dua londo blasteran. Tetapi pengaruh mereka dalam dunia politik kita tidak menonjol. Barangkali lantaran jumlahnya yang sangat sedikit. Artinya, politisi yang kulitnya coklat-coklat atau sawo matang, atau apapun istilahnya (coklat gosong, barangkali?) masih mendominasi. 

Di luar kedua dunia itu, memang banyak kalangan Pemerintah sejak Orde Baru yang mengagumi para londo. Bahkan mereka mengakui keunggulan para londo, sampai ke taraf yang cenderung merendahkan kemampuan bangsa sendiri.

Alasan untuk mengunggulkan kaum londo itu kiranya berbungkus "penguasaan" teknologi. Akan tetapi pasti juga ada alasan lain yang tak pernah diungkapkan kepada publik oleh Pemerintah. Misalnya saja, sebagai syarat yang melekat pada program bantuan asing.

Oleh karena itulah banyak kita jumpai londo-londo di departemen-departemen pemerintahan. Tentu saja gaji mereka berpuluh kali lipat dari gaji anak bangsa sendiri.

Saat hal ini saya tanyakan kepada salah seorang dari para londo itu, jawabannya merupakan sejumlah elemen yang penting diperhatikan oleh Pemerintah kita dalam memberi gaji/upah kepada bangsa sendiri.

Apa jawaban mereka? Pada intinya: "Wah, kami kan harus hidup layak seperti di negeri kami; kami harus sewa rumah; kami harus punya mobil; kami harus bayar asuransi".

Daftar elemen tersebut tentu bisa diperpanjang. Pokoknya harus bisa mendukung alasan mereka untuk memperoleh gaji minimal USD10.000 sebulan (di luar dunia bisnis). Tentu saja itu numerasi beberapa tahun berselang.

Namun, terkadang, persyaratan yang mereka minta terasa berlebihan juga. Kalau rumah, yah harus punya kolam renang. Padahal di negerinya sendirinya pun belum tentu mereka punya kolam renang. Furniture harus begini, harus begitu, dan lain sebagainya.

Makanya orang sering bilang bahwa negeri kita ini ibarat surga bagi para londo.

Tetapi bagaimana realitas keunggulan penguasaan teknologi mereka? Ini merupakan suatu wilayah yang perlu dipersoalkan. Banyak londo yang dipekerjaan di bidang teknis oleh Pemerintah kita, terutama pada masa Orde Baru, menyandang predikat "engineer". Dengan gelar mentereng seperti itu, mereka dianggap atau diperlakukan sama dengan "insinyur".

Karena itu mereka di tempatkan pada posisi supervisi terhadap para pegawai atau pejabat kita. Faktanya, banyak protes dari para "bawahan" tersebut bahwa mereka lebih ahli atau pintar daripada para londo "bos" itu. Tentu banyak di antara kita yang pernah mendengar anggapan bahwa para "engineers" itu sebenarnya tukang di negeri mereka sendiri. Image itu hilang lantaran gaji yang tinggi serta, of course, dasi dan jas yang mereka pakai sehari-hari.

(Mungkinkah dari anggapan tersebut Rano Karno terinspirasi untuk menggunakan istilah "tukang insinyur" dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan?)

Nyatanya tidak ada protes anak negeri yang didengar oleh Pemerintah. Karena itu kekecewaan para karyawanlah yang kita dengar di sana sini. Betapa tidak. Mereka yang kerja setengah mati, tetapi para londo yang menikmati gaji tinggi.

Memang saya amati bahwa pada masa Orde Baru, Pemerintah kita silau akan kehadiran (kembali) para londo di negeri ini. Tampaknya mereka masih kagum (seperti masyarakat pedesaan di era 1970an) akan para londo. Tidak mustahil ini disebabkan sisa-sisa pengaruh "white men's burden", seperti yang ditanamkan kaum kolonial (dan post-colonial) di negara-negara sedang berkembang dulu.

Bagaimanapun, kesilauan itu terasa aneh bagi saya. Bukankah para penguasa Orde Baru itu kebanyakannya merupakan veteran yang membebaskan negeri ini dari penjajahan? Bahkan mereka berani melawan kekuasaan kolonial dengan hanya menggunakan bambu runcing? Mengapa setelah berkuasa justru mereka sendiri yang "takut" sama londo?

Karena itu dengan sedih saya mencatat bahwa jikalau 60 tahun yang lalu kita telah mengalami proses dekolonialisasi, maka sekarang agaknya kita mulai kembali memasuki era rekolonialisasi. 

Kalau memang begitu, buat apa para pendahulu kita mempertaruhkan harta dan jiwa mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan kepada bangsa ini?

Saya tidak ingin mengatakan bahwa perjuangan mereka  sia-sia. Dan saya juga tidak ingin disebut sebagai xenophobia.---

 



 






Thursday, March 22, 2012

MENGATASI KEMACETAN JAKARTA

Suasana kemacetan di jalan-jalan Jakarta memang sudah sangat memprihatinkan. Bahkan memalukan. Mengapa? Karena Jakarta sekarang ini berfungsi bukan saja sebagai ibukota RI, tapi lebih lagi dari itu: Jakarta sudah jadi kota yang mendunia. Salah satu metropolitan terbesar di dunia.

Karena itu kemacetan yang setiap hari terjadi di Jakarta ini sudah jadi bahan pembicaraan (kejengkelan!) kalangan diplomatik dan bisnis internasional yang ada di Jakarta. Tentu saja omongan tersebut terbawa-bawa dalam pergaulan mereka di luar negeri. 

Apa anda tidak malu Pak Gubernur DKI? Apa tidak malu kita? 

Yang pasti kita semua jengkel. Setiap hari kita menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu setengah jam saja. Bayangkan berapa banyak waktu kita yang terbuang; berapa pula BBM yang kita boroskan.

Apa Pemerintah DKI tidak concern? Pasti concern. Tetapi apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI. Pasti ada. Umpamanya saja pembuatan 'jalan bertingkat', underpass, dlsb.

Namun dari apa yang sudah dikerjakan itu, saya yakin tidak akan dapat menyelesaikan masalah kemacetan di Ibukota kita ini secara tuntas. Kalaupun itu membantu, bantuan itu hanya bersifat sementara dan setempat saja.

Perlu ada tindakan yang merata di seluruh kota. Kalau tidak begitu, langkah-langkah konkrit yang sudah diambil akan menjadi sia-sia saja.

Saya melihat perlu ada kebijakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk mengatasi masalah ini.

Pertama, dalam jangka pendek, polisi harus mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang melanggar aturan lalu lintas. 

Kedua, lebih spesifik, tindak tegas para pemotor yang mengendarai secara berlawanan arah, yang sekarang ini juga sudah menjadi 'hal biasa'. Kiranya, dalam kaitan ini, sudah cukup banyak korban yang jatuh.

Ketiga, tindak tegas juga semua pelanggar lampu lalu lintas dan zebra cross

Keempat, tegaskan lagi kebijakan yang mengharuskan pemotor bergerak di jalur paling kiri jalan, sehingga mereka tidak bebas berzigzag. Perilaku pemotor seperti itu sangat berbahaya, dan memperlambat laju kendaraan lain. Ini juga merupakan sebuah sumber kemacetan.

Kelima, larang semua kegiatan Pak Ogah di semua jalanan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bantuan yang diberikan oleh Pak Ogah kepada pengemudi tertentu justru menyebabkan kemacetan bagi pengemudi lainnya. Dalam kaitan ini Dinas Perhubungan (?) perlu membantu dengan menutup tempat-tempat putaran tertentu, sehingga tidak terlalu dekat satu sama lainnya.

Diluar keempat jurus itu, yang tidak pula kalah pentingnya adalah bahwa polisi juga harus mengubah prilakunya dalam mengatus lalu lintas.Umpamanya saja, polisi jangan pernah lagi menyuruh pengendara melanggar aturan lalu lintas (termasuk traffic lights) dalam keadaan apapun juga.

Saya masih ingat, dulu polisi sering mengutak-atik lampu lalu lintas secara manual, padahal lampu-lampu tersebut sudah computerized. Untunglah sekarang para polisi kita sudah menghentikan tindakan buruk itu, setelah 'dibuat mengerti' oleh vendor Australia.

Tetapi kini ulah polisi kita lain lagi. Di perapatan 'lampu merah' para pemotor disuruh berhenti setelah garis stop. Ini jelas melanggar aturan. Akibatnya, para pemotor bergerak lambat saat lampu berubah hijau, sehingga menghambat gerakan mobil di belakang mereka.

Jadi, polisi harus koreksi diri. Semua 'tradisi baru' yang sudah mereka ajarkan itu selama ini kepada para pengguna jalan, harus dihentikan. Para pengguna jalan harus di-reeducate lagi dalam suatu sosialisasi praktis yang waktunya harus sangat singkat (jangan lebih dari 1 minggu). Sudah itu, tindak tegas para pelanggar tanpa tedeng aling-aling!

Itu semua untuk jangka pendek.

Untuk jangka menengah dan jangka panjang, Pemerintah DKI perlu menerapkan sistem blok dalam pembangunan kota. Sistem blok ini membutuhkan jalan-jalan lingkungan baru di jalur-jalur utama kota. Sistem ini akan mencegah terjadinya pemusatan kendaraan lantaran banyak kegiatan bisnis yang dibangun di 'pedalaman kota' yakni di jalan-jalan lingkungan. Langkah ini pasti akan 'menyedot' sebagian arus lalu lintas dan perparkiran ke jalan-jalan lingkungan tersebut. 

Menurut saya, kemacetan di Jalan Sudirman dan Thamrin terjadi karena konsep pembangunan yang tidak berdasarkan pada sistem blok tersebut, sebagaimana lazimnya di kota metropolitan dunia lainnya. Dalam hal ini, Pemerintah DKI tidak merencanakan atau gagal menerapkan pembangunan berdasarkan sistem blok tersebut. Barangkali istilahnya dalam bahasa Pemerintah DKI adalah 'membangun tidak sesuai dengan tata ruang'.

Apapun juga alasannya yang pasti adalah bahwa kurang banyak pembangunan jalan yang paralel dan memotong (melintang) di jalur Sudirman dan Thamrin. Jalan-jalan tersebut harus dibangun oleh Pemerintah DKI untuk membentuk blok-blok kota.

Mana yang untuk jangka menengah dan yang mana pula untuk jangka panjang? Kedua jangka ini ditentukan oleh prioritas Pemerintah DKI. 

Namun bagi saya  kedua jangka tersebut menggambarkan tingkat kemudahan dan kesulitan dalam pelaksanaannya. Yang paling mudah dilaksanakan tentulah menjadi jangka menengah, sementara yang lebih sulit, masuk ke dalam jangka panjang.---

Saturday, March 17, 2012

ANTARA TANK DAN KAPAL CEPAT

Terus terang saja, saya bukan seorang pakar militer. Saya hanya seorang awam saja, yang ingin menyumbang sedikit pikiran pada masalah TNI. 

TNI sudah memutuskan untuk membeli tank leopard dari Belanda. Syukur tidak jadi, karena Belanda menolak menjualnya kepada TNI. Sekarang TNI mendapat tawaran yang lebih menarik lagi dari Jerman. Dalam hal ini, Jerman tidak saja mau jual leopard, melainkan juga menawarkan alih teknologi untuk perawatan dan pembuatannya.

Saya saja tergiur oleh tawaran Jerman ini, apalagi TNI. Namun begitu saya tetap tidak setuju TNI membeli tank 'bongsor' itu sekarang. Setidaknya, saatnya belum tepat bagi kita untuk memilikinya.

Alasan TNI ingin memiliki leopard karena para tetangga kita sudah mempunyainya, bukanlah alasan yang tepat. Dalam hal ini saya tidak ingin mengadu argumentasi soal teknisnya, sebab saya memang bukan ahlinya. 

Dari sudut strategi militer (saya ingatkan juga bahwa saya bukan ahlinya), kalau kita mau mengatasi agresi dari negara tetangga, yang kita perlukan adalah alutsista yang mampu mengatasi persenjataan mereka, bukan yang menyamainya. Misalnya kita beli saja meriam anti-tank atau helikopter anti-tank, dsb.

Sekarang saya mau meninjau masalah ini dari sudut ekonomi. Dari sudut ini, bangsa kita harus menggunakan anggaran seefisien-efisiennya. Bukan seefisien mungkin. Maka, dari segi ini, saya kira akan lebih efisien jikalau penggunaan anggaran TNI tidak hanya bermanfaat bagi TNI saja, melainkan juga bagi rakyat secara keseluruhan.

Dalam kaitan ini, kalaulah TNI membeli tank leopard, tentu saja rakyat juga akan menikmati manfaatnya sewaktu negara kita diserang oleh negara asing. Akan tetapi di masa damai, apa manfaatnya alat perang yang 'menganggur' itu bagi rakyat. Alih-alih bermanfaat, malah rakyat harus mengeluarkan anggaran untuk perawatannya.


Yang lebih bermanfaat bagi rakyat sekarang ini adalah alutsista yang langsung dapat difungsikan untuk membela kepentingan bangsa dan negara ini secara keseluruhan.  Lebih efisien lagi bilamana alutsista itu sekaligus pula dapat dimanfaatkan untuk mendukung perekonomian bangsa. Pastilah tank leopard itu tidak memenuhi persyaratan ini.


Kebutuhan pertahanan bangsa kita sekarang ini adalah bagaimana menjaga keutuhan kedaulatan negara. Kita perlu dan harus menjaga perairan nasional kita dari intervensi asing, baik militer maupun non-militer. 

Kelemahan TNI dalam membela keutuhan kedaulatan negara terpampang secara terbuka. Lihat saja umpamanya bagaimana selama ini Angkatan Laut dan penjaga laut kita tidak mampu mencegah negara asing menangkap ikan di perairan nasional kita. Ini satu bentuk 'pelecehan' asing terhadap kedaulatan kita. Jelas itu. 

Lebih khusus lagi, kelemahan TNI dalam menjaga kedaulatan negara kita berimplikasi ke bidang ekonomi. Berapa besarkah kerugian yang dialami Indonesia dari aksi para nelayan asing itu? Triliunan rupiah setiap tahunnya!


Itu baru dari sudut ekonomi saja; kita belum bicara bagaimana dari sudut pertahanan negara. Kedaulatan kita dipertaruhkan di lautan. 


Nah, oleh sebab itu, saya lebih setuju kalau TNI sekarang ini tidak dulu membeli alutsista semacam tank leopard itu. Lebih baik, anggaran TNI yang terbatas itu dimanfaatkan untuk membeli kapal-kapal patroli cepat (entah apapun itu nama dan kelasnya). 


Dengan kapal-kapal patroli semacam itu kita akan dapat mencegah intrusi ke dalam wilayah perairan kita. Lebih khusus lagi, kita dapat mencegah dan mengatasi nelayan-nelayan asing yang beroperasi di wilayah kita secara ilegal. 

Dengan langkah ini kita akan dapat mencegah terjadinya kerugian negara secara ekonomi di lautan. Dari hasil operasi ini nanti saya yakin kita akan dapat memenuhi kebutuhan alutsista TNI yang lain, termasuk tank-tank yang dibutuhkan negara kita untuk menjaga kedaulatannya di darat.---












Monday, March 12, 2012

MASALAH ZONA WAKTU INDONESIA

 Sejak merdeka, seingat saya, Indonesia sudah dua kali mengalami perubahan zona waktu. Di tahun 1950an, ada waktu Sumatera Utara, Waktu Sumatera Selatan, Waktu Jawa, Waktu Kalimantan, dst. Zona-zona waktu tersebut sangat terkait dengan peredaran matahari. Artinya, matahari terbit lebih kurang pukul 6 pagi, dan terbenam pada jam 6 sore.

Zona waktu yang demikian banyak di suatu negara yang luas seperti Indonesia ini, memang cukup membingungkan dan menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu, untuk praktisnya, pada tahun 1960an, Pemerintah Indonesia membagi negeri ini atas 3 zona waktu: Barat, Tengah dan Timur. Kemudian di tahun 2000an, ada koreksi kecil. Bali yang semula masuk wilayah waktu Indonesia Barat, digeser masuk ke dalam zona waktu Indonesia Tengah.

Pengaturan waktu yang demikian memang praktis, namun tidak natural. Pukul 6 pagi di Banda Aceh, di ujung barat zona Waktu Indonesia Barat, cuaca masih temaram, sementara di ujung timurnya, Banyuwangi, cuaca sudah terang benderang. Cuaca lebih berbeda lagi di kedua zona waktu Indonesia lainnya.

Perbedaan cuaca tentu saja berpengaruh terhadap suasana dan ritme kehidupan manusia. Sebagai contoh saja, orang Jakarta jarang sekali memulai rapat atau seminar sebelum jam 9 pagi, padahal waktu itu sudah cukup siang untuk masyarakat Pontianak. Sama-sama pukul 9 pagi, tetapi suasananya berbeda.

Sekarang  ini Pemerintah mau cuek-cuek saja terhadap masalah cuaca lokal dan ingin menerapkan satu zona waktu untuk seluruh wilayah Indonesia. Boleh-boleh saja, sebab ada juga negara lain, dengan spread wilayah yang sangat luas,  yang berbuat demikian. Contohnya, India dan Cina, masing-masing punya hanya satu zona waktu. Sementara itu Australia masih memiliki 3 zona waktu.

Jadi, membagi Indonesia atas sekian zona waktu, dengan mengabaikan faktor alamiah, merupakan suatu keputusan politik. Sah-sah saja. Juga sah-sah saja mengkaitkan zona waktu dengan aspek ekonomi atau pun bisnis.

Karena itu, Pemerintah merencanakan untuk melakukan 'penyatuan' zona waktu yang diberengi dengan 'pemajuan' waktu. Nanti waktu zona Indonesia akan disetarakan dengan GMT+8. Artinya waktu Indonesia akan sama dengan waktu Singapura dan Malaysia. 

Penyamaan zona waktu Indonesia dengan Singapura sebenarnya bukanlah soal baru. Ide tersebut sudah dimunculkan pada akhir 1980an, tetapi tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah, sehingga tidak memasyarakat.

Rupanya sekarang Pemerintah sudah meyakini bahwa  pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terdorong dengan adanya koreksi atas waktu.  Sebab, dengan memajukan waktu disertai penerapan zona waktu tunggal di seluruh Indonesia, maka kegiatan rakyat akan bisa dilakukan lebih dini. Begitu argumentasinya.


Tetapi menurut saya, argumentasi itu masih bisa diperdebatkan. Jangan mengkaitkan ketidakmampuan kita menggerakkan kegiatan ekonomi dan bisnis dengan masalah waktu, karena tidak ada relevansinya. Simaklah contoh singkat berikut ini. 

Waktu Bangkok sama dengan Waktu di Jakarta atau WIB, tetapi perekonomian Thailand lebih maju daripada kita. Sementara itu, Jepang dan Korea yang jauh lebih maju lagi, padahal zona waktunya 2 jam di belakang Jakarta.


Jadi, menurut saya, sangatlah naif jika kita mengira bahwa pertumbuhan ekonomi dan bisnis kita bisa dipacu dengan melakukan perubahan zona waktu. Saya yakin bahwa masalah kita bukan soal zona waktu, melainkan soal ketidakmampuan Pemerintah untuk mengelola negeri ini dengan baik. 

Dengan mengatakan demikian tidak berarti saya mengabaikan faktor kultural masyarakat. Sedikit banyak ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa kultur bangsa kita kurang responsif terhadap bisnis dan kegiatan ekonomi. Keadaan ini bisa (dan harus) dikoreksi. Tetapi, itulah yang tidak dilakukan oleh Pemerintah.

Karena itu, sekali lagi, jangan kaitkan kemajuan ekonomi dengan masalah zona waktu. Nanti kita ditertawakan orang.---

 


Sunday, March 11, 2012

PESANTREN DAN PENGHAPUSAN IAIN

Banyak sudah IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang  berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dalam beberapa tahun terakhir ini. Umpamanya saja, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta telah berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri Hidayatullah.

Tampaknya perubahan ini terjadi seiring dengan banyaknya para lulusan luar negeri (antara lain, dari Kanada) yang kembali ke almamater mereka. Setelah terjadi di Jakarta, angin perubahan ini bertiup kencang di seluruh Indonesia, sampai-sampai menerpa IAIN Ar-Raniri di Banda Aceh .

Ketika bertemu dengan sejumlah tokoh IAIN Ar-Raniri di Banda Aceh beberapa bulan yang lalu, saya minta mereka agar tidak tersapu oleh angin perubahan itu. Jawaban yang saya peroleh: "Sudah terlambat, Pak. Kami sudah mengusulkannya ke Jakarta. Tapi kami tidak akan menjadi seperti UIN Syarif Hidayatullah".

Saya tidak yakin benar kalau mereka akan mampu menghadang badai besar yang sedang melanda umat Islam Indonesia itu. Tokh banyak juga tokoh IAIN di Aceh itu yang jebolan dari negara-negara Barat.

"Ya, sudah", kata saya. Namun saya sempat berpesan kepada mereka, agar cita-cita yang diasung ketika membentuk IAIN di Banda Aceh pada tahun 1959 jangan sampai dikhianati, apalagi sekarang Aceh sudah menjadi daerah berlakunya syariat Islam.

Saat redanya pemberontakan Darul Islam pada tahun 1959, rakyat Aceh menghendaki adanya keseimbangan antara pengembangan ilmu dunia dengan ilmu akhirat. Untuk pengembangan ilmu dunia, maka dibentuklah Universitas Syiah Kuala. Pada saat yang sama dibentuk pula IAIN Ar-Raniri sebagai sarana bagi pengembangan ilmu akhirat.

Saya kira hal yang sama dikehendaki juga oleh masyarakat Islam di provinsi-provinsi lain. 

Namun saya melihat bahwa perubahan nama IAIN menjadi UIN sekarang ini sudah (dan akan lebih jauh) mengakibatkan terjadinya pergeseran di dalam pengembangan ilmu. Pengembangan ilmu dunia sudah dan akan terus menggeser cita-cita umat Islam Indonesia untuk mengembangkan ilmu akhirat.

Itulah sebabnya mengapa tokoh-tokoh IAIN di Banda Aceh itu saya ingatkan.
  
Akan tetapi, di lain pihak, saya melihat bahwa trend perubahan orientasi UIN merupakan suatu blessing in disguise bagi perkembangan pesantren di seluruh Tanah Air. Kesempatan ini muncul dengan sendirinya tanpa harus direbut. Ya, tanpa harus diperjuangkan.

Ini merupakan suatu perkembangan yang sangat positif. Tetapi sekaligus pula hal ini juga sebuah tantangan. 

Betapa tidak. Bidang pengembangan agama yang ditinggalkan oleh UIN akan dapat meningkatkan peranan pesantren sebagai wadah tunggal dan unggul dalam pengembangan "ilmu" Islam di negeri ini. Tentu saja, ini di luar peranannya dalam penyebaran, dan penguatan penyebaran, Islam di Indonesia.

Namun saya perlu juga menghimbau dan mengingatkan agar para kiai tidak atau jangan sampai lengah. Jangan karena tidak ada lagi saingan, maka mereka "berleha-leha" di dalam menangani aspek pengembangan ilmu akhirat yang telah ditinggalkan oleh UIN. Jika itu yang terjadi, maka akan fatal akibatnya buat umat Islam Indonesia dan dunia.---

Thursday, March 8, 2012

URUSAN SALUT KEBANGSAAN

Sejak masa perjuangan kemerdekaan, orang Indonesia sudah terbiasa dengan urusan salut menyalut. Pada masa itu, sampai 1950an, orang masih saling menyapa seraya mengangkat tangan dan menempelkan jari-jari di dahi. Hanya saja, di masa revolusi, gerakan anggota badan itu ditimpali dengan ucapan heroik: "Merdeka!". 

Setelah kemerdekaan tercapai, sepertinya ada semacam kesepakatan dalam masyarakat kita untuk tidak lagi saling menyapa dengan menggunakan istilah "merdeka" itu. Maklum, sudah (merasa) merdeka. Kecuali bagi warga PDI-P, tentunya.

Yang masih konsisten dengan gerakan jari menempel di jidad itu hanyalah anggota TNI, Polri dan umat Islam. Namun ketiga unsur bangsa ini pun tidak mengucapkan "merdeka" saat bersalut. Sementara warga PDI-P mengucapkan "merdeka", tetapi mereka tidak menempelkan jari di dahi.

Di luar masyarakat militer di seluruh dunia, sepengetahuan saya, hanya orang Indonesia saja yang masih bersalut dengan menyentuhkan jari di dahi.  Karena itu, salut dengan gaya seperti ini sudah menjadi ciri khas bangsa kita. Sudah unik.

Salut seperti ini masih dipraktekkan kaum militer dan polisi, serta sebagian masyarakat sipil kita, untuk menghormat dan lagu Indonesia Raya. Namun saya khawatir keunikan salut nasional ini mulai memudar di kalangan masyarakat sipil akhir-akhir ini.

Beberapa kali saya merasa prihatin dan sedih ketika menyaksikan olahragawan kita tidak lagi menggunakan salut yang unik ini pada saat mereka menghormati Sang Saka Merah Putih dan lagu Indonesia Raya di forum internasional. Sebagai gantinya, mereka meletakkan tangan kanan di dada kiri mereka.

Malam kemarin saya menyaksikan pertandingan sepak bola dalam rangka Hasanal Bolkiah Trophy di Brunei, antara Timnas Vietnam dengan Timnas Indonesia. Kesebelasan Vietnam serentak meletakkan tangan kanan di atas dada untuk menghormati lagu kebangsaan mereka. Tidak kalah gesit, hal yang sama juga dilakukan oleh Timnas Indonesia sesudah itu. Gaya bersalut mereka sama.

Maka hilanglah keunikan kita. Atau memang tidak perlu dipertahankan lagi dalam era globalisasi ini?

Menurut saya, keunikan tersebut perlu diabadikan. Bagi kita, keunikan salut itu merupakan bagian daripada sejarah pembentukan bangsa ini yang perlu kita lestarikan. "Jangan lupakan sejarah", pesan Bung Karno.---

Sunday, March 4, 2012

JANGAN KHIANATI RAKYAT

Indonesia adalah sebuah negara yang berkah untuk orang asing. Boleh dikatakan sebagai suatu surga.  

Dalam hal ini saya tidak bicara tentang ekspatriat yang menikmati kehidupan bak surgawi dengan pendapatan yang melimpah dan harga barang yang murah. Sementara kaum pekerja yang notabene adalah pemilik negeri ini harus berjuang keras untuk mendapatkan upah yang masih belum dapat dikatakan layak. Sering pula perjuangan tersebut harus pula berhadapan dengan alat-alat kekuasaan negara, yang gajinya pun tidak jauh berbeda dari upah kaum pekerja itu sendiri.

Saya bicara tentang fakta bahwa kebijakan Pemerintah telah memungkinkan  ekonomi Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Dengan mengatakan ini tidak berarti saya seorang yang anti kapitalis asing. Saya bisa menerima kapitalis asing yang berinvestasi di sini asal menguntung negeri ini, jangka pendek dan jangka panjang.

Yang di luar kerangka itulah yang saya tidak sukai. Sebagai salah satu contoh saja. Belum lama ini Pemerintah telah mengizinkan sebuah perusahaan asing untuk membangun pabrik semen di Jawa Barat. Kepemilikan modal oleh perusahaan ini mencapai lebih dari 90%! Konyol, bukan?

Yang lebih konyol lagi, menurut saya, pabrik semen tersebut mau mengincar pasar domestik, bukan ekspor. Untuk merealisir hal itu, perusahaan tersebut akan menguasai jaringan distribusi dengan dimilikinya sebuah perusahaan distribusi.

Secara hukum, tentulah ini bukan suatu kejahatan. Tetapi saya tidak tahu apa istilah lain yang harus dilekatkan kepada sebuah perusahaan asing yang mempunyai sebuah pabrik, sementara perusahaan itu sekaligus juga melibatkan diri di dalam urusan distribusi domestik untuk barang yang diproduksinya. Manalagi barang yang diproduksinya sudah termasuk dalam kategori kebutuhan  'hajat hidup orang banyak'.

Memang, tidak perlu dibantah bahwa Indonesia  membutuhkan investasi demi meningkatkan kesempatan kerja. Sebab, Indonesia juga memiliki jutaan penduduk yang membutuhkan pekerjaan. Apalagi saat ini jumlah penduduk yang menganggur cukup besar.

Karena itu saya juga menyadari apabila banyak orang yang (membutuhkan pekerjaan) tidak mau tahu siapa yang memiliki sesuatu perusahaan. Yang penting bagi kelompok masyarakat ini adalah tersedianya pekerjaan yang dapat menghidupi keluarga mereka. Manusiawi.

Akan tetapi hal itu pun dapat kita capai tanpa kita membiarkan modal asing menguasai kekayaan negeri ini sepenuhnya. Penguasaan yang demikian pada akhirnya akan merugikan rakyat secara keseluruhan. Kiranya dalam hal ini kita dapat memetik pelajaran dari investasi Freeport di Papua.

Sekarang sudah banyak negara berkembang yang melarang investor asing menguasai saham lebih dari 49%. Artinya saham mayoritas harus tetap berada di tangan anak negeri. Dengan kebijakan seperti ini maka kepentingan nasional akan terlindungi, sehingga rakyat pun tidak akan terkhianati.

Kekayaan alam Indonesia sangat melimpah dan diminati oleh investor asing, sehingga Pemerintah tidak perlu ragu untuk mendukung kebijakan ini yang membela rakyat. Manalagi Indonesia mempunyai 'market' yang besar, yang menggiurkan bagi setiap investor. Ingat bahwa tidak semua investor asing tamak, sehingga mau melupakan faktor pasar yang besar ini. 

Karena itu Pemerintah tidak perlu takut akan 'ancaman' investor akan mengalihkan modalnya ke negara lain. Sebab, mungkin saja di negara lain mereka akan dapat berinvestasi (dengan modal dominan), namun belum tentu negara tersebut memiliki pasar yang besar seperti Indonesia. Ini berarti bahwa untuk memperoleh keuntungan, mereka masih harus mencari-cari pasar yang ada di luar negara tempat mereka berinvestasi. Masih ada sejumlah faktor lain yang akan mengurangi tingkat keuntungan investor tersebut, seperti ongkos transportasi.

Karena itu saya percaya bahwa kita mampu menarik investasi asing sambil tetap memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan bangsa kita. Menari investor asing tidak perlu dengan cara-cara yang merugikan kepentingan nasional kita. Masih ada cara lain yang dapat ditempuh Pemerintah untuk menarik modal asing, selain daripada membiarkan mereka menguasai perekonomian kita.

Perjuangkan kepentingan nasional. Mengabaikan kepentingan nasional merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Jangan khianati rakyat.---



 

Friday, March 2, 2012

DISANJUNG TINGGI, LALU DIHEMPAS KE BUMI

Begitulah nasib ESEMKA, mobil hasil rakitan anak-anak SMK di Solo. Ketika ESEMKA pertama kali diperkenalkan kepada khalayak luas, hampir semua pihak memuji-muji mobil tersebut. Kalangan eksekutif (kecuali Gubernur Jawa Tengah) dan legislatif ramai-ramai memuji dan bahkan datang ke Solo untuk menyaksikannya. Pada umumnya mereka sepakat untuk menjadikan ESEMKA sebagai proyek mobil nasional. Pihak-pihak tersebut tidak hanya memuji mobil tersebut, tetapi bahkan memesannya.

Semua itu memompa semangat berbagai kalangan masyarakat yang selama ini memang haus akan adanya suatu mobil yang dirancang dan dibuat oleh anak-anak bangsa sendiri. Betapa tidak. Selama ini kita tidak pernah mampu membuat mobil sendiri. Kemampuan industri kita baru terbatas pada merakit dan mengimpor mobil-mobil buatan asing. Konon ada kepentingan asing di balik fakta ini.

Padahal dari sudut penguasaan teknologi, kemampuan bangsa ini tidak perlu diragukan.  Sudah terbukti dan teruji bahwa jangankan mobil, pesawat terbang pun mampu kita buat!

Selama lebih dari dua dekade terakhir, Pemerintah tidak berbicara  tentang proyek mobil nasional. Namun setelah anak-anak SMK memunculkan mobil hasil karya mereka, Pemerintah pun menyatakan bahwa ia sedang mengembangkan sebuah prototipe mobil nasional. Apakah pernyataan ini dikeluarkan karena Pemerintah merasa dipermalukan oleh anak-anak SMK?

Entahlah. Yang jelas kini semangat anak bangsa itu bagaikan dikempeskan seperti balon oleh Pemerintah. Dalam kaitan ini, Pemerintah baru saja menyatakan bahwa ESEMKA tidak lulus uji emisi! 

Saya yakin bahwa hasil uji emisi ini telah dilakukan secara obyektif. Sama sekali tidak ada keraguan saya dalam hal ini. Tetapi lihatlah akibat pengumuman hasil uji emisi itu. Semangat anak-anak SMK dan para pendukungnya itu  bagaikan kertas diguyur air. Lemas.

Dalam hal ini jelas sekali kelihatan bahwa Pemerintah tidak adil dan tidak bijaksana dengan menerapkan standar industri mobil internasional dalam uji emisi tersebut. Seyogianya Pemerintah memaklumi kekurangan-kekurangan yang ada pada mobil ESEMKA. 

Seharusnya Pemerintah menghargai inisiatif dan kreatifitas anak-anak SMK tersebut. Semestinya pada tahap sekarang ini Pemerintah lebih menekankan pada aspek keamanan dari mobil ESEMKA, bukan pada aspek lingkungannya. Barulah kemudian, secara selangkah demi selangkah, setelah memberikan bimbingan, Pemerintah menerapkan standar yang lebih ketat.

Memang, semestinya Pemerintah membiarkan tunas-tunas yang baru tumbuh itu hidup. Bukan mematikannya. Seharusnya Pemerintah memiliki sikap yang membina dan membimbing. 

Namun semua itu telah terjadi. Mulanya disanjung tinggi, lalu dihempas ke bumi. Mudah-mudahan semangat para pionir muda kita tidak mati.----