PEMERINTAH JUGA MELANGGAR HUKUM
Cukup kaget saya ketika menyaksikan pemberangkatan Timnas Pra-Piala Dunia kita ke Bahrain di salah satu TV swasta beberapa waktu yang lalu. Betapa tidak. Dua orang pemain naturalisasi Timnas diwawancarai dalam bahasa Inggris. Seharusnya mereka diwawancarai dalam bahasa Indonesia, sebab tayangan itu adalah untuk pemirsa Indonesia.
Cukup jelas kiranya bahwa wawancara dalam bahasa asing itu dilakukan karena kedua pemain tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia. Memang pernah saya menyaksikan iklan TV yang dibintangi oleh salah seorang pemain Timnas tersebut, di mana dia menggunakan bahasa Indonesia. Kesan saya, bahasa dalam iklan tersebut adalah bahasa hafalan. Tampaknya sang bintang hanya mengulang saja kata-kata yang harus diucapkannnya untuk promosi iklan tersebut. Dan ucapannya pun patah-patah. Artinya, dia tidak bisa berbahasa Indonesia.
Nah, inilah permasalahannya bagi kita. Bagaimana seseorang dapat menjadi warga negara melalui proses naturalisasi, padahal dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Bukankah salah satu syarat untuk menjadi warga negara Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UU tentang Kewarganegaraan (lupa saya nomornya) adalah menguasai bahasa Indonesia? Syarat yang lain adalah mengetahui sejarah Indonesia dan sudah berdomisili di Indonesia minimal 5 tahun.
Saya yakin di sini telah terjadi pelanggaran terhadap UU Kewarganegaraan itu. Sebab, dengan memberikan status kewarganegaraan kepada sejumlah warga negara lain yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan tidak mengetahui sejarah negeri ini, berarti Pemerintah telah melakukan pelanggaran atas UU Kewarganegaraan.
Pelanggaran tersebut terjadi begitu saja. Artinya, tidak ada gugatan atau protes dari masyarakat. Setidaknya saya tidak pernah mendengar ada protes dari para ahli hukum kita, apalagi dari masyarakat awam.
Akan halnya dugaan pelanggaran hukum ini pernah saya kemukakan di tweeter beberapa waktu yang lalu. Jawaban yang saya peroleh sangat menyentak bagi saya: "Biar saja, demi kepentingan nasional".
Saya dan sejumlah orang lainnya boleh saja tidak setuju dengan pendapat seperti itu. Apakah merekrut pemain sepak bola demi memenangkan Timnas dalam sejumlah pertandingan internasional dapat dikategorikan sebagai kepentingan nasional? Kalau pun jawaban atas pertanyaan ini adalah "ya", apakah hal itu boleh dilakukan dengan melanggar hukum?
Dengan berat hati saya katakan bahwa hanya dalam keadaan amat sangat darurat saja, Pemerintah boleh melakukan pelanggaran undang-undang. Saya dapat memahami jikalau pada saat muncul kebutuhan yang amat sangat mendesak dan menentukan nasib bangsa, Pemerintah melakukan pelanggaran atas undang-undang. Situasi tersebut, ditandai oleh kenyataan bahwa Pemerintah tidak sempat atau tidak dimungkinkan untuk mengeluarkan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sementara nasib atau kepentingan negara menjadi taruhannya.
Adakah kondisi seperti itu dalam proses naturalisasi sejumlah pemain Timnas kita? Kalau tidak ada, maka itu berarti bahwa Pemerintah telah melakukan pelanggaran hukum.
Tetapi pelanggaran seperti ini pun tidak terjadi sekali ini saja. Saya yakin sdh terjadi beberapa kali sebelumnya. Saya ingat, misalnya, yang melibatkan saya, selaku Ketua KPU (2001-2007).
Pada tahun 2004, setelah dilantik menjadi presiden, SBY tidak menerima pimpinan KPU ketika itu. Berulang kali, KPU melayangkan surat permohonan untuk menyampaikan laporan tentang pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden. KPU juga mengingatkan SBY akan konsekuensi hukumnya. Namun ketika saya tanyakan, selalu dijawabnya: "Nanti, sedang dicarikan waktunya oleh Seskab".
Padahal UU menetapkan bahwa KPU harus memberikan laporan kepada Presiden selambat-lambatnya 30 hari setelah Presiden dilantik. Nah, kalau Presiden menghambat KPU untuk menyampaikan laporan kepadanya, maka siapa yang melanggar UU? Tentunya, presiden bukan?
Saya percaya bahwa masyarakat akan dapat melengkapi contoh-contoh lain dari pelanggaran UU yang terjadi di negeri ini.---
Tetapi pelanggaran seperti ini pun tidak terjadi sekali ini saja. Saya yakin sdh terjadi beberapa kali sebelumnya. Saya ingat, misalnya, yang melibatkan saya, selaku Ketua KPU (2001-2007).
Pada tahun 2004, setelah dilantik menjadi presiden, SBY tidak menerima pimpinan KPU ketika itu. Berulang kali, KPU melayangkan surat permohonan untuk menyampaikan laporan tentang pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden. KPU juga mengingatkan SBY akan konsekuensi hukumnya. Namun ketika saya tanyakan, selalu dijawabnya: "Nanti, sedang dicarikan waktunya oleh Seskab".
Padahal UU menetapkan bahwa KPU harus memberikan laporan kepada Presiden selambat-lambatnya 30 hari setelah Presiden dilantik. Nah, kalau Presiden menghambat KPU untuk menyampaikan laporan kepadanya, maka siapa yang melanggar UU? Tentunya, presiden bukan?
Saya percaya bahwa masyarakat akan dapat melengkapi contoh-contoh lain dari pelanggaran UU yang terjadi di negeri ini.---