Wednesday, February 29, 2012

PEMERINTAH JUGA MELANGGAR HUKUM
Cukup kaget saya ketika  menyaksikan pemberangkatan Timnas Pra-Piala Dunia kita ke Bahrain di salah satu TV swasta beberapa waktu yang lalu. Betapa tidak. Dua orang pemain naturalisasi Timnas diwawancarai dalam bahasa Inggris. Seharusnya mereka diwawancarai dalam bahasa Indonesia, sebab tayangan itu adalah untuk pemirsa Indonesia.

Cukup jelas kiranya bahwa wawancara dalam bahasa asing itu dilakukan karena kedua pemain tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia. Memang pernah saya menyaksikan  iklan TV yang dibintangi oleh salah seorang pemain Timnas tersebut, di mana dia menggunakan bahasa IndonesiaKesan saya, bahasa dalam iklan tersebut adalah bahasa hafalan. Tampaknya sang bintang hanya mengulang saja kata-kata yang harus diucapkannnya untuk promosi iklan tersebut. Dan ucapannya pun patah-patah. Artinya, dia tidak bisa berbahasa Indonesia.

Nah, inilah permasalahannya bagi kita. Bagaimana seseorang dapat menjadi warga negara melalui proses naturalisasi, padahal dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Bukankah salah satu syarat untuk menjadi warga negara Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UU tentang Kewarganegaraan (lupa saya nomornya) adalah menguasai bahasa Indonesia? Syarat yang lain adalah mengetahui sejarah Indonesia dan sudah berdomisili di Indonesia minimal 5 tahun.

Saya yakin di sini telah terjadi pelanggaran terhadap UU Kewarganegaraan itu. Sebab, dengan memberikan status kewarganegaraan kepada sejumlah  warga negara lain yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan tidak mengetahui sejarah negeri ini, berarti Pemerintah telah melakukan pelanggaran atas UU Kewarganegaraan. 

Pelanggaran tersebut terjadi begitu saja. Artinya, tidak ada gugatan atau protes dari masyarakat. Setidaknya saya tidak pernah mendengar ada protes dari para ahli hukum kita, apalagi dari masyarakat awam. 

Akan halnya dugaan pelanggaran hukum ini pernah saya kemukakan di tweeter  beberapa waktu yang lalu. Jawaban yang saya peroleh sangat menyentak bagi saya: "Biar saja, demi kepentingan nasional".

Saya dan sejumlah orang lainnya boleh saja tidak setuju dengan pendapat seperti itu. Apakah merekrut pemain sepak bola demi memenangkan Timnas dalam sejumlah pertandingan internasional dapat dikategorikan sebagai kepentingan nasional? Kalau pun jawaban atas pertanyaan ini adalah "ya", apakah hal itu boleh dilakukan dengan melanggar hukum?

Dengan berat hati saya katakan bahwa hanya dalam keadaan amat sangat darurat saja, Pemerintah boleh melakukan pelanggaran undang-undang. Saya dapat memahami jikalau  pada saat muncul kebutuhan yang amat sangat mendesak dan menentukan nasib bangsa, Pemerintah melakukan pelanggaran atas undang-undang. Situasi tersebut, ditandai oleh kenyataan bahwa Pemerintah tidak sempat atau tidak dimungkinkan untuk mengeluarkan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sementara nasib atau kepentingan negara menjadi taruhannya.

Adakah kondisi seperti itu dalam proses naturalisasi sejumlah pemain Timnas kita? Kalau tidak ada, maka itu berarti bahwa Pemerintah telah melakukan pelanggaran hukum.

Tetapi pelanggaran seperti ini pun tidak terjadi sekali ini saja. Saya yakin sdh terjadi beberapa kali sebelumnya. Saya ingat, misalnya, yang melibatkan saya, selaku Ketua KPU (2001-2007). 

Pada tahun 2004, setelah dilantik menjadi presiden, SBY tidak menerima pimpinan KPU ketika itu. Berulang kali, KPU melayangkan surat permohonan untuk menyampaikan laporan tentang pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden. KPU juga mengingatkan SBY akan konsekuensi hukumnya. Namun ketika saya tanyakan, selalu dijawabnya: "Nanti, sedang dicarikan waktunya oleh Seskab". 

Padahal UU menetapkan bahwa KPU harus memberikan laporan kepada Presiden selambat-lambatnya 30 hari setelah Presiden dilantik. Nah, kalau Presiden menghambat KPU untuk menyampaikan laporan kepadanya, maka siapa yang melanggar UU? Tentunya, presiden bukan?

Saya percaya bahwa masyarakat akan dapat melengkapi contoh-contoh lain dari pelanggaran UU yang terjadi di negeri ini.---




Monday, February 20, 2012

GRASI UNTUK ANTASARI AZHAR

Ini memang suatu masalah yang sulit bagi Antasari Azhar. Dalam posisinya sebagai narapidana yang telah ditolak hak PK-nya oleh Mahkamah Agung, dia harus memilih antara mengajukan permohonan grasi kepada Presiden atau tidak. Kalau dia meminta grasi, maka itu berarti dia mengakui kesalahannya, terlepas dari apakah putusan pengadilan benar atau salah. (Putusan pengadilan tidak selalu harus benar. Ingat, antara lain, kasus Sengkon dulu.)

Pengakuan bersalah itu bukanlah soal enteng bagi seseorang yang telah diputuskan bersalah oleh pengadilan, apalagi kalau putusannya sudah bersifat inkracht (berkeputusan tetap). Pertimbangannya adalah bahwa kalau seorang narapidana mengajukan grasi, berarti dia dimaknai secara hukum sebagai mengakui bahwa putusan pengadilan atas kasus hukumnya sudah benar. Singkatnya, dia mengakui bahwa dia bersalah. 

Sebaliknya, bila dia menolak mengakui bersalah, maka dia tidak akan mengajukan permintaan grasi. Artinya, dia mempertahankan prinsipnya dan memilih tetap berada di penjara.

Bagi orang yang berprinsip, mengakui sesuatu perbuatan hukum yang tidak dilakukannya memang terasa berat. Oleh karena itu, ketika saya dihadapkan pada masalah seperti itu beberapa tahun yang lalu, maka saya memilih untuk tidak mengajukan grasi. Padahal saat itu peluang tersebut dibuka oleh Presiden SBY, melalui seorang politisi terhormat, dengan catatan dari SBY bahwa dengan mengajukan grasi tidak selalu berarti bahwa seorang narapidana itu mengakui bahwa dia bersalah.

Dalam pemaknaan hukum (dan masyarakat luas), permohonan grasi dikaitkan dengan pengakuan bersalah. Karena itu, saya menolak untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.

Namun saya bisa memahami seandainya Antasari Azhar memutuskan untuk mengajukan permohonan grasi. Sebab, tanpa grasi itu berarti dia harus mendekam dalam penjara selama 18 tahun (minus masa yang telah dijalaninya di bui). Sementara kalau dia mendapat grasi, maka dia akan bebas. Hanya saja, cap dari sebagian masyarakat (yang tidak mau tahu duduk persoalannya) bahwa dia mengakui telah melakukan pembunuhan, akan terus melekat. 


Kini pilihan bagi Antasari adalah apakah dia mau keluar dari penjara atau tidak. Untuk itu, setelah PK-nya ditolak MA, maka satu-satunya jalan adalah minta grasi yang berarti bahwa dia mengakui bersalah (sekalipun saya dan sebagian masyarakat lainnya yakin bahwa dia tidak bersalah). Apabila dia tidak mau mengajukan permohonan grasi, berarti masih panjang lagi waktu bagi dia untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarganya.


Jadi, saya bisa memahami apabila Antasari meminta grasi. Namun perlu juga dipertimbangkan, bagaimana pula seandainya Presiden menolak permohonan grasinya?


Sungguh sulit posisi Antasari Azhar. Saya prihatin.
 

Tuesday, February 14, 2012

Hi I'm Nazaruddin Sjamsuddin.
This is my personal blog where I share my thoughts and opinions.
Thanks for visiting.