Tuesday, May 1, 2012

"BIAR DIA YANG MATI...."

Kemarin saya melihat sebuah iklan (?) di bagian belakang sebuah bis kota. Tidak begitu saya perhatikan, sebab hanya sekilas saja saya melihatnya. Maklum,  saat itu saya sedang menyetir di keramaian lalu lintas.

Sekilas sempat saya baca kata-kata promosi iklan tersebut. Amat menarik dan mengena. Bunyinya: "Dia yang dapat duit, kita yang mati".

Entah ke mana juntrung kalimat tersebut. Saya benar-benar tidak tahu. Tetapi saya ingin memberi makna sendiri terhadap ungkapan yang sangat bermanfaat itu. Maknanya saya kaitkan dengan globalisasi yang menerpa bangsa kita dengan sangat deras selama ini.

Tak terlupakan oleh saya bagaimana Presiden Soeharto pada akhir 1990-an berulang-ulang mengingatkan bahwa Indonesia akan diterpa arus globalisasi. Arus itu mendunia, sehingga kita tidak akan mampu menghindarinya. Maksudnya, biar kita mempersiapkan diri.

Sekalipun saat itu globalisasi masih pada taraf gejala, namun saya yakin bahwa gejala tersebut telah menyebabkan Soeharto mengendurkan  sekrup-sekrup kendali rezim Orde Baru. Rezim Soeharto secara perlahan-lahan mengurangi cengkeraman politiknya, meskipun rakyat sendiri mungkin tidak merasakannya.

Ingatlah bagaimana Soeharto membiarkan saja LSM menggeliat. Sebagai contoh, dia biarkan munculnya KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) beberapa waktu sebelum Pemilu 1997. Begitu juga dengan aktifitas PRD (Partai Rakyat Demokratik). 

Menyaksikan perkembangan tersebut, saya menggumam di dalam hati: "Rezim Soeharto sedang menggali kuburannya sendiri". Saya tidak memahami langkah yang ditempuh Soeharto. Sebagai pengamat, semula saya bahkan menilai dia sudah salah langkah.

Saya baru memahami langkah Soeharto pada hari saya dilantik menjadi salah seorang Deputi Kepala BP-7 Pusat pada awal April 1997. Usai acara pelantikan, Mensesneg Moerdiono mengungkapkan kepada pimpinan BP-7 pesan Soeharto bahwa: "Sekarang ini kita tidak boleh lagi  mengatakan 'pokoknya begini', karena rakyat sudah pintar. Ini merupakan hasil pembangunan".

Langkah Soeharto lebih mengarah lagi ketika dia menginstruksikan BP-7 untuk memberikan 'Pembekalan' kepada 500 anggota baru DPR, yang belum dilantik, di Istana Bogor pada bulan September 1997. Baik materi maupun narasumber untuk pembekalan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada BP-7.

Tema umum pembekalan tentu saja tidak jauh dari aspek-aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik menyongsong era globalisasi. Narasumbernya adalah para pakar, baik yang pro-Soeharto maupun yang berseberangan dengannya.

Dalam hubungan ini, sama sekali tidak ada keberatan dari Soeharto. Selain membuka acara tersebut, Soeharto mengamati terus, baik secara dekat maupun dari jauh. Dan jauh dari 'protes', dia bahkan membiarkannya bergulir apa adanya. Tidak ada monitoring, baik secara manual maupun elektronik, padahal semua diskusi bersifat terbuka. Situasinya memang berbeda sekali dengan pola penataran P-4 yang dan membosankan.

Oleh sebab itu, kiranya tidak akan salah bila saya katakan bahwa sebenarnya reformasi berawal dari Pembekalan tersebut. Reformasi itu kemudian 'memakan' Soeharto sendiri. Baru kemudian saya ketahui bahwa Soeharto menyadari bahwa dia sendiri yang akan menjadi korbannya. Namun dia membiarkannya saja. 

Sementara pengamat asing berpendapat bahwa hal ini dikarenakan rezim Soeharto sudah lelah ('aging'), Soeharto sendiri tidak melihatnya seperti itu. Kepada saya, dia menyingkapkan alasannya sendiri. Hal ini sudah saya ungkapkan dalam otobiografi saya, Bukan Tanda Jasa.

Dalam tahun-tahun belakangan ini kita saksikan bahwa globalisasi itu sudah menghancurkan sendi-sendi kemandirian bangsa kita. Orang bilang reformasi telah membuahkan demokrasi yang kebablasan. Begitu juga dengan globalisasi.

Dalam kebablasan globalisasi itu hampir semua aspek kehidupan kita sekarang 'dikuasai' asing. Bangsa kita seakan-akan termangu menghadapi terpaan arus deras globalisasi, sementara Pemerintah pun hanyut di dalamnya.

Menyikapi keadaan ini, berbagai pihak berusaha mengeduk keuntungan. Semua yang dapat dijual atau dijadikan uang, mereka impor. Barang-barang yang mampu kita produksi di dalam negeri pun di impor. Buah, sayur-sayuran, ikan dan barang-barang manufaktur diimpor. Sampai-sampai pemain bola dan basket pun mereka masukkan ke negeri ini.

Tinggallah rakyat yang hidup merana dan tak berdaya. Karena itu ungkapan "dia yang dapat duit, kita yang mati", pas benar dengan situasi sekarang.

Tentu saja situasi ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terus. Kita harus membalikkan situasi ini menjadi "biar dia yang mati, kita yang dapat duit". Bagaimana caranya? Itulah tantangan bagi orang yang berpikir (Al Qur'an). Dalam ungkapan orang Singapore: "Ting, ting!" (maksudnya, think, think!---


Saturday, April 28, 2012

MAHKAMAH AGUNG PROVINSI

Judul ini terasa aneh, bukan? Memang aneh. Saya sendiri juga  merasakannya. Betapa tidak. Istilah "mahkamah agung" berarti lembaga peradilan paling top di sebuah negara. Di negara-negara lain biasa dikenal sebagai "supreme court". Dengan menyandang sebutan "agung" atau "supreme", maka berarti mahkamah tersebut tidak mempunyai sandingan, apalagi tandingan.

Tetapi dalam tulisan ini saya mengkaitkan "keagungan" mahkamah bukan dengan negara melainkan dengan provinsi. Akibatnya, mungkin saja, istilah "agung" itu menjadi kehilangan makna. Maknanya tidak lagi "supreme" lantaran fungsi mahkamah ditempatkan pada level provinsi dari sebuah negara.

Saya memutuskan untuk menggunakan judul di atas, di satu pihak, karena saya belum menemukan istilah lain yang lebih tepat dan tidak keluar dari rel pemikiran konstitusi kita. Namun di lain pihak, saya juga berpendapat biar saja seperti itu, sebab agung tidaknya sebuah mahkamah tidak tergantung pada di mana ia berada, melainkan pada bagaimana ia berfungsi atau difungsikan.

Sesuatu lembaga yang bermerek "agung" kalau tidak  difungsikan atau berfungsi sesuai dengan keagungannya, maka keberadaan lembaga tersebut menjadi tidak bermakna. Masih ingatkah anda bahwa kita pernah mempunyai DPA (Dewan Pertimbangan Agung)? 

DPA kita itu kehilangan maknanya lantaran "keagungannya" tidak difungsikan. Nasihat atau pertimbangan-pertimbangan DPA sering diabaikan presiden sejak zaman Orla sampai Orba. Situasi itu berlanjut pada masa Reformasi, sehingga akhirnya DPA kehilangan eksistensinya. DPA dibubarkan karena kita tidak mampu memberikan fungsi yang pas kepadanya. 

Kini MA (Mahkamah Agung) kelihatannya akan bernasib sama seperti DPA, jikalau kita tidak mampu memberikan makna kepada harkat keagungannya. Malahan kecenderungan kita akhir-akhir ini justru mengarah pada penghancuran MA. Paling tidak, itulah yang saya lihat sekarang ini. Tidak percaya?  

Haruslah diakui bahwa bahwa selama ini kita senantiasa melecehkan MA. Hal ini seakan-akan sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Situasi ini diperparah lagi dengan dibentuknya KY (Komisi Yudisial). KY cenderung pula ikut-ikutan melecehkan MA. Dengan adanya KY, sekarang kita tidak tahu lagi secara persis mana yang lebih agung di antara MA dan KY.

Dengan mengatakan demikian, janganlah diartikan bahwa saya membela atau berpihak kepada MA. Tidak ada kepentingannya bagi saya untuk berbuat seperti itu.

Cukup jelas bagi siapapun bahwa nasib malang menimpa MA karena lembaga ini tidak mampu memaknai keagungan posisinya dalam sistem peradilan kita. Ia tidak mampu menjalankan fungsinya dengan bersikap independen sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. 

Akibatnya, ia tidak sanggup memberikan keadilan kepada rakyat, padahal itulah yang diharapkan dari suatu "supreme court". Karena itu menggelindingnya proses penghancuran MA tidak dapat dihindarkan lagi.

Akan tetapi, menurut hemat saya, tidak hanya faktor itu saja yang telah mendorong bergulirnya proses penghancuran tersebut. Ketidakmampuan MA memberikan keadilan kepada masyarakat bukan single factor yang merusak citra MA.

Ada faktor lain yang selama ini mungkin telah kita abaikan. Yaitu bahwa beban MA terlalu besar. MA sudah over-loaded! Kita lupa bahwa penduduk negeri ini sangat besar, sementara kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat kita tidak sama-dan-sebangun dengan negara-negara lain, termasuk dengan tetangga-tetangga kita di ASEAN.

Oleh sebab itu tidaklah bijaksana apabila kita dengan begitu saja berpaling kepada negara lain untuk mendapatkan solusi bagi permasalahan bangsa kita. Tidak seharusnya kita membentuk KY lantaran Thailand mempunyai lembaga sejenis. 

Ternyata sekarang pembentukan KY jauh dari menyelesaikan masalah hukum kita. Malah kontroversi yang timbul telah memperumit permasalahan. 

Kita gagal melihat kenyataan bahwa salah satu sumber masalah hukum kita adalah jumlah penduduk yang terlalu besar. Dengan penduduk sekitar 240 juta, kita mempunyai jumlah perkara yang jauh lebih besar daripada banyak negara lain di dunia.

Karena itu tidaklah mengherankan apabila MA mempunyai tumpukan perkara yang amat besar, sehingga sulit untuk dapat diselesaikannya. Kalau saya tidak salah, saat ini MA mempunyai sekitar 20.000 tunggakan perkara.

Nah, bayangkanlah betapa besar beban psikologis yang dihadapi para hakim agung di MA. Tentu saja ini bukan masalah kecil. Dampaknya bisa menjalar ke mana-mana dalam lingkup struktur dan fungsi MA. Karena itu perlu dicarikan solusinya.

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengurangi beban kerja MA. Untuk itu MA perlu mendelegasikan dan mendistribusikan sebagian kewenangannya kepada provinsi-provinsi. 

Dalam kaitan ini perlu dibentuk MA tingkat provinsi. MA Provinsi ini bertindak sebagai "supreme court" pada tingkat provinsi. Kasasi dan PK harus diselesaikan pada tingkat provinsi, sehingga tidak perlu dibawa ke Jakarta. 

Dengan begitu, tugas utama MA adalah melakukan koordinasi dan supervisi kepada MA Provinsi.  Syukur-syukur  dengan begini, kelemahan-kelemahan yang ada dapat terkoreksi.--- 






Wednesday, April 25, 2012

BANGSA YANG MENIPU DIRI SENDIRI

Baru saja, hari ini, televisi memberitakan tentang kesiapsiagaan Polri menghadapi peringatan ulang tahun RMS (Republik Maluku Selatan). Rupanya sebagian saudara-saudara kita di Tanah Ambon sedang bersiap-siap merayakan ulang tahun 'proklamasi kemerdekaan' wilayah timur Indonesia itu.

Antisipasi Polri itu seharusnya menyentak perhatian kita, terutama di luar Maluku, bahwa ada keresahan di sana. 

Di satu pihak, polisi resah lantaran mereka memperhitungkan kemungkinan terjadinya kerusuhan di Maluku. Di lain pihak, masyarakat Maluku sendiri juga gelisah bahwa kerusuhan itu akan membuat suasana mencekam yang akan mengusik ketenangan hidup mereka. Malah tidak mustahil, korban jiwa akan berjatuhan.

Itulah suasana yang kita hadapi setiap tahun dalam beberapa puluh tahun belakangan ini di Maluku. Akan tetapi suasana seperti ini bukanlah monopoli Tanah Ambon saja.

Suasana yang sama terdapat pula di Papua. Peringatan hari  'kemerdekaan' Papua pada bulan Desember tahun lalu telah merenggut beberapa jiwa anak bangsa di sana. Agaknya aparat keamanan akan lebih mewaspadai lagi perkembangan menjelang akhir tahun ini. Suasana pasti akan mencekam kembali.

Untunglah usaha separatis di Aceh telah berhasil kita akhiri sejak 2005. Namun fakta menunjukkan bahwa pihak keamanan tetap saja mewaspadai hari-hari menjelang ulang tahun GAM pada setiap bulan Desember.

Apa arti yang tersirat dalam kewaspadaan pihak keamanan tersebut? Secara singkat dapat saya katakan bahwa mereka sadar bahwa benih-benih separatisme masih hidup di tengah-tengah masyarakat di ketiga daerah tersebut.

Sejauh mana Pemerintah Pusat menghayati realitas ini? Mungkin cukup jauh juga, namun kesan yang saya peroleh adalah sebaliknya. Pemerintah tidak pernah mau meninjau secara serius sebab musabab tersemainya benih-benih separatisme di daerah-daerah itu. Pemerintah tidak pernah menjawab secara real dan tuntas kekecewaan-kekecewaan yang dialami rakyat ketiga daerah itu (dan mungkin juga di daerah-daerah lain).

Pemerintah selalu meninabobokkan rakyat dengan 'senandung' NKRI. Memang lagu tersebut berhasil menidurkan sebagian anak bangsa, tetapi gagal menidurkan sebagian lainnya. Mengapa? Karena rakyat di sebagian daerah tidak merasakan nikmat 'kesatuan' dari NKRI itu.

Mereka tidak merasa 'bersatu' dalam Indonesia. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat selama ini membedakan mereka dengan sebagian daerah lain. Kita tidak akan dapat  menafikan hal ini pada saat kita mengunjungi daerah-daerah tersebut.

Saya sendiri tidak mampu menahan tetesan air mata ketika saya mengunjungi Kupang 15 tahun yang lalu. Saya merasa tertipu oleh jargon NKRI: "kita ambil dari daerah kaya, kita bagikan kepada daerah miskin". NTT adalah  salah satu bukti dari kepalsuan jargon tersebut. 

Kenyataan itu didukung oleh data realisasi investasi, misalnya. Mayoritas investasi selama ini masih bertumpuk di Jawa. Baru pada triwulan pertama tahun ini, realisasi investasi di luar Jawa mencapai 47%, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 44%. Artinya, bagaimanapun juga, pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa. (Kompas, 24/4/2012)

Pengolahan data yang saya buat dari sumber yang sama membuat saya menahan napas. Simaklah: persebaran investasi tersebut, 17% di Sumatera, 14% di Kalimantan, 7% di Sulawesi, dan 7% di Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua.

Memang tidak semua daerah-daerah tersebut di atas tidak mengumbar sikap separatisme. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka puas terhadap Pusat. Kekecewaan mereka saya deteksi dalam kunjungan saya yang intens di daerah-daerah tersebut pada awal 2000an. 

Saya tahu bahwa mereka tidak akan mengungkapkan perasaan mereka ke atas permukaan. Namun jelas hal ini akan menjadi lahan yang subur bagi benih-benih separatisme di masa depan.

Keadaan inilah yang ingin dinafikan oleh Pemerintah Pusat  bersama sebagian rakyat di luar daerah-daerah tersebut dengan sikap yang tidak mau tahu. Bahkan kita cenderung bersikap menipu diri sendiri. 

Di satu pihak, Pemerintah senang menggembar gemborkan kehebatan bangsa ini dengan angka pertumbuhan ekonomi yang sekian persen. Pemerintah juga seakan lupa diri dengan pujian-pujian dunia internasional bahwa RI adalah salah satu kekuatan besar ekonomi dunia. Dalam pada itu, Pemerintah sibuk pula membanggakan prestasinya yang, entah benar entah tidak, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan.

Dan, di lain pihak, bagaimana dengan kita? Banyak di antara kita yang melihat bahwa masalah utama yang dihadapi bangsa ini sekarang hanyalah korupsi yang merajalela dan persoalan salah urus pimpinan negara. Kita sering berpikir bahwa kalau masalah-masalah tersebut dapat kita atasi, maka negeri ini akan  sejahtera. 

Tentu saja saya tidak ingin terperangkap dalam pola pikir seperti itu. Bagi saya, pembangunan ekonomi, pemberantasan korupsi dan mismanagement adalah beberapa di antara tantangan yang kita hadapi sekarang ini. Namun masih ada masalah lain yang lebih fundamental, yakni menyangkut fondasi kebangsaan kita.

Haruslah diakui bahwa fondasi negara ini masih belum kokoh, terutama menyangkut aspek persatuan dan kesatuan bangsa. Boleh saja sejumlah elite politik Pusat berpendapat bahwa sistem NKRI sudah final. Akan tetapi buktinya sejumlah daerah masih mempersoalkannya.

Selama itu pula pihak keamanan akan harus terus aktif mengantisipasi perkembangan di daerah-daerah tersebut. Sementara itu, kehidupan masyarakat di daerah-daerah itu akan terus menerus terasa mencekam.

Jadi, boleh saja kita menutup mata terhadap kenyataan itu. Tetapi itu berarti kita menipu diri sendiri. Berapa lama lagikah kita sanggup bersikap begitu?---


Sunday, April 22, 2012

PEMIMPIN PECUNDANG

Sebenarnya saya ingin memberi judul-judul lain untuk tulisan inii. Di antara judul yang saya inginkan itu adalah: "Bangsa Penakut" atau "Bangsa Pengecut". Alternatif judul seperti ini tidak jadi saya pergunakan, karena saya khawatir banyak orang yang akan marah nantinya.

Pada dasarnya gambaran saya tentang bangsa kita ini, yaah memang seperti itu. Tentu saja tidak semua orang Indonesia seperti itu. Banyak sekali orang yang saya kenal, yang saya tahu atau saya dengar, tidak bermental seperti itu. Anda juga tidak termasuk dalam kategori "pengecut" atau "penakut". Buktinya, anda berani membaca tulisan ini.

Memang tidak seharusnya kita mempunyai pemimpin-pemimpin pecundang. Mengapa?  Karena sejak di bangku TK (yang saya tidak sempat nikmati, karena tidak ada di kota saya waktu itu) anak-anak Indonesia sudah diajarkan untuk bersikap berani.

Saya tidak bohong. Anda masih ingat akan lagu "Nenek Moyangku Orang Pelaut"? Nah, ini merupakan sebuah lagu luar biasa yang mensosialisasikan "nilai keberanian" kepada bangsa kita. Selain itu masih ada lagi "nilai kepahlawanan" yang diserapkan melalui sekolah-sekolah. 

Sampai sekarang tidak pernah terlupakan oleh saya jajaran gambar para pahlawan nasional, para penentang kolonialisme, yang terpajang di dinding sekolah saya. Itu di Sekolah Rakyat (sama dengan SD sekarang), di tahun 1950an. Sungguh terasa menggelegak darah saya kala menyaksikan gambar-gambar Teuku Umar, Panglima Polem, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin dan Pattimura tersebut.

Tetapi di manakah sekarang nilai-nilai keberanian dan kepahlawanan itu? Masihkah nilai-nilai tersebut bertengger di otak para pemimpin kita?

Terus terang saja saya tidak melihatnya. Sebab, nilai-nilai tersebut tidak tercermin di dalam banyak prilaku politik kita sekarang. Lihatlah, betapa takutnya (sebagian) pemimpin kita menghadapi bangsa dan negara lain. Kita tunduk begitu saja kepada tekanan-tekanan mereka. Seharusnya malu kita kepada bangsa Korea Utara, misalnya.

Ingat, Korea Utara itu tidak sekaya Indonesia. Penduduknya sedikit, sementara sumber daya alamnya hanya secuil, kalau dibandingkan dengan kita. Namun daya juangnya melebihi takaran biasa.

Namun kita tidak perlu menjadi seperti Korea Utara agar tidak dianggap sebagai bangsa penakut. Sungguh tidak bijaksana juga para pemimpin yang membiarkan rakyatnya sengsara seperti di belahan utara Korea itu.

Yang kita kehendaki adalah adanya pemimpin, terutama di pemerintahan, yang berani menentang dunia pada saat kepentingan nasional kita dilecehkan. Harap dicatat bahwa kita dapat melawan kehendak dunia tidak selalu harus secara fisik. Tanpa senjata pun kita dapat melawan ketidakadilan bangsa-bangsa lain terhadap kita.

Ingat, Allah menganugrahkan otak kepada setiap manusia untuk dimanfaatkan. Karena itu mari kita manfaatkan kekuatan anugrah Allah itu untuk membela kepentingan nasional kita. Demi kesejahteraan rakyat.

Jangan pernah takut kepada bangsa lain. Juga jangan takut diakali (dikadali!) bangsa lain. Lawan saja. Tetapi dengan menggunakan otak. Sebab bangsa-bangsa yang mengkadali kita juga menggunakan otak. Tidak perlu menggunakan senjata, dan juga tidak perlu merengek-rengek kepada bangsa lain.
  
Jadi, otak harus dilawan dengan otak. Akal mesti dilawan dengan akal. 

Pendekatan ini harus diterapkan pada saat ini, tatkala AS sedang berusaha menghancurkan keunggulan sumber alam kita dalam rangka melindungi kepentingannya sendiri. Kita dikadali AS yang menolak biofuel kelapa sawit dengan alasan lingkungan. Padahal alasan sebenarnya AS adalah mempertahankan keunggulan kedelai, biji bunga matahari, dan lain-lain, sebagai sumber BBM non-fosil.

Akal-akalan AS itu mestilah dilawan dengan akal-akalan pula. Dalam rangka itu, sebagai penghasil CPO terbesar dunia (bersama Malaysia), kita stop saja ekspor CPO sebagai bahan baku biofuel. Kemudian CPO tersebut kita olah menjadi biofuel dan kita manfaatkan sendiri. Sementara itu BBM fosil yang kita miliki, kita ekspor saja semuanya (sebanding dengan produksi biofuel).

Begitu juga halnya dengan produk biji coklat yang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil utama dunia. Negara-negara produsen coklat di Eropa sering menolak biji coklat yang dihasilkan para petani kita, dengan berbagai alasan. Pastilah maksud mereka yang sebenarnya adalah untuk menekan harga coklat kita.

Sebagai solusi bagi kita, kebijakan tersebut harus diakali. Umpamanya, Pemerintah menolak secara cerdas impor makanan coklat dari luar negeri. Saya katakan 'secara cerdas' agar tidak disemprit WTO. Kita olah sendiri saja  coklat kita, lalu kita konsumsi sendiri. Pastilah negara-negara produsen makanan coklat di Eropa akan kelabakan.

Saya yakin sejumlah pemimpin akan mengatakan bahwa apa yang saya katakan ini hanya mudah untuk dikatakan, tetapi sulit untuk diterapkan. Nah, pemimpin seperti ini bermental pecundang, bukan?---

 





 

Tuesday, April 10, 2012

SATU NEGERI, DUA RAJA

Judul tulisan ini pas sekali buat keadaan Indonesia sekarang ini.  Betapa tidak. Sesuai konstitusi, sistem pemerintahan kita berdasarkan pada prinsip presidential. Artinya, segala urusan pemerintahan ada di tangan presiden. Presidenlah yang bertanggungjawab. 


Tetapi itu tidak berarti bahwa presiden bisa dan boleh semaunya. Ada kekuasaan lain yang mengawasi tindak tanduk presiden, yakni DPR (sebagai manifestasi kedaulatan rakyat). Selain itu ada pula DPD, MA dan MK.


Sama seperti DPR, DPD juga dipilih oleh rakyat. Namun dalam sistem politik kita kini, DPD mempunyai peranan yang khas dan terbatas bila dibandingkan dengan DPR. Kekuasaan MA dan MK lebih terbatas lagi, karena keanggotaan kedua lembaga ini dipilih oleh DPR.


Penyimpangan yang dilakukan oleh para presiden di masa Orde Lama dan Orde Baru mengingatkan rakyat akan perlu adanya pembatasan atas kekuasaan presiden. Timbullah reformasi dalam sistem pemerintahan kita.

Maka, kekuasaan DPR diperluas. Maksudnya, tentu, agar rakyat lebih efektif mengawasi presiden, sehingga presiden tidak lagi bisa menyalahgunakan kekuasaannya.

Tetapi apa yang terjadi?  Dengan kekuasaan legislatif yang semakin luas itu, pemerintahan menjadi tidak efektif. Presiden harus sering-sering meminta persetujuan DPR untuk kebijakannya. Masalah kenaikan harga BBM usulan pemerintah, yang hangat akhir-akhir ini, merupakan sebuah contoh yang masih segar dalam ingatan kita. 


Contoh lain yang lebih 'kecil', tidak ada seorang dutabesar pun bisa diangkat oleh presiden tanpa persetujuan DPR.


Faktanya memang presiden sering tersandera oleh DPR. Selain itu, presiden juga sering 'difetakompli'. Dalam hal ini presiden, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menandatangani RUU yang telah disetujui DPR selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. 

Untuk menghilangkan suasana sandera menyandera ini, maka dibentuklah Setgab partai-partai pendukung pemerintah. Tujuannya memang baik, namun dampak negatifnya tidak diperhitungkan. Politik dagang sapi menjadi semakin marak.


Oleh sebab itu, Setgab bukanlah obat mujarab bagi sistem presidensial. Alih-alih melepaskan diri dari jerat sandera, presiden malah tergantung kepada Setgab.


Jadi, apa yang salah? Sistem politik kitalah yang salah. Dengan sistem politik seperti sekarang, Republik ini benar-benar menjadi sebuah negeri yang diperintah oleh dua raja: Presiden dan DPR!

Konstitusi memberlakukan sistem presidensil, tetapi yang berjalan adalah sistem parlementer. Kenyataan ini disebabkan oleh sistem kepartaian yang kita terapkan tidak mendukung sistem pemerintahan yang bersifat presidensial.

Sampai saat ini kita masih mempraktekkan sistem banyak partai yang memang lazim ada dalam sistem parlementer. Padahal yang dibutuhkan oleh sistem pemerintahan presidensial adalah sistem kepartaian dengan partai yang dibatasi jumlahnya. Dalam kaitan ini, dua partai adalah jumlah yang ideal.


Saya memahami semangat para reformis yang ingin mengawal pelaksanaan kekuasaan presiden. Kita memang sudah kapok dengan abuse of power yang pernah terjadi. Namun sistem multi-partai bukanlah sebuah jalan keluar yang pas untuk mengatasi keadaan seperti itu.


Menurut hemat saya, boleh-boleh saja presiden mempunyai kekuasaan yang dominan. Tetapi kekuasaan yang dominan ini harus disandingkan dengan  kekuasaan rakyat, di luar masa pemilihan umum, untuk menghukum presiden yang keluar dari rel konstitusi. 

Kedaulatan rakyat harus dimanifestasikan dalam hak impeachment atau pemakzulan terhadap presiden. Proses pemakzulan jangan dibuat berbelit-belit. Cara yang berbelit-belit ini justru akan memacetkan sistem politik, sehingga menyengsarakan rakyat.

Untuk menyimpulkan, yang ingin saya katakan adalah bahwa kita gagal meniru sistem presidensial dan semangatnya sebagaimana yang hidup di Amerika Serikat. Akibatnya, runyam. Kita berjalan maju mundur, tidak terarah. Tertatih-tatih.


Kenyataan ini membuat saya harus memuji orang Jepang. Orang Indonesia tidak sebaik orang Jepang. Kita semua tahu itu. Tetapi belajarlah dari mereka. 

Pelajari bagaimana orang Jepang meniru barang dari luar negerinya dan kemudian mereka memproduksi barang yang lebih baik dari aslinya. Itu saja.---


Thursday, April 5, 2012

RONGSOKAN WARISAN BELANDA

Belanda menjajah Pulau Jawa selama lebih kurang 350 tahun, atau tiga setengah abad. Artinya, lebih dari 10 generasi manusia yang hidup di pulau ini pernah dijajah oleh Belanda. Memang, jangka waktu yang sangat panjang. 

Dalam tulisan ini saya tidak akan menggambarkan tentang apa saja yang telah dilakukan oleh penjajah Belanda itu terhadap bangsa kita Pulau Jawa. Sudah banyak literatur yang telah ditulis oleh para ahli tentang masalah ini. 

Secara singkat ingin saya katakan bahwa dalam jangka waktu yang sekian panjang, tentu sudah banyak hal yang telah dikerjakan Belanda di sini.  Maklum,  Pulau Jawa telah dijadikan sebagai sentra produksi yang menghidupi Negeri Belanda selama beberapa abad. Belanda terus menerus menghisap Pulau Jawa demi memakmurkan negaranya. 

Entah berapa  ratus miliar gulden yang telah diinvestasikan Belanda di Pulau Jawa untuk membangun sentra-sentra produksi. Karena itu pula tidaklah gampang bagi Belanda untuk mau dipaksa hengkang dari sini.

Perjuangan militer saja tidak cukup untuk mengusir Belanda. Belanda baru mau melepaskan Indonesia setelah kita bersedia melunasi hutang-hutang Pemerintah Hindia Belanda. Itu pun di bawah bayang-bayang tekanan Amerika Serikat.

Tuntutan kita agar Belanda memberikan ganti rugi kepada kita ditolak mentah-mentah oleh Belanda di Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag. Kita malah yang diharuskan memberikan 'ganti rugi'. Waktu itu RI terpaksa membayar sebesar 4,3 juta gulden! 

Jangan tanya kepada saya berapa nilainya kalau dihitung dengan rupiah sekarang ini. Menurut sebuah sumber, 5 gulden saat itu setara dengan harga 3 gram emas. Kalau harga emas kini sekitar Rp500.000,- segram, maka nilainya sungguh "Wow"!

Nah, kalau kompensasi hutangnya sebesar itu, bisakah kita bayangkan berapa besar nilai investasi yang telah ditanam Belanda? Tidak tahu saya. Dan sekarang ini pun saya tidak mau membuka-buka lagi buku tentang itu.

Tetapi kita pasti dengan mudah dapat diyakinkan bahwa investasinya sangatlah besar. Sebab, jejak investasi kolonialisme di Pulau Jawa bisa ditelusuri dengan mudah. Lihat saja,  misalnya peninggalan infrastruktur berupa jalan raya, rel kereta api beserta lokomotif dan gerbong kereta api, perkapalan, jembatan, pabrik-pabrik, perkebunan, perbankan, dll.

Tentu, kini semua warisan itu sebagian besarnya sudah menjadi barang rongsokan. Nilai barang rongsokan tersebut dalam rupiah sekarang ini pasti dalam kisaran angka puluhan triliun rupiah.  Ada yang mengatakan di atas 20 triliun rupiah. Bisa lebih besar dari itu. Entahlah.

Bagaimanapun juga jumlah tersebut tentu sangat besar. Untuk sekadar memberikan gambaran, talangan yang diberikan Pemerintah untuk Bank Century yang sebesar 6,7 triliun rupiah itu sungguh sangat kecil bila dibandingkan dengan rongsokan warisan kolonial Belanda tersebut.

Warisan tersebut adalah aset negara. Persoalannya  bagi kita sekarang adalah di manakah barang-barang rongsokan tersebut kini berada. Apakah masih dikuasai negara, atau bagaimana? Masihkah berada pada tempatnya semula, atau sudah dipindahkan?

Apabila seumpamanya warisan tersebut sudah dialihkan, maka kepada siapa negara mengalihkannya, dan bagaimana pula proses pengalihannya. Ini harus bisa dijelaskan oleh Menteri Keuangan.

Kalau selama ini masyarakat meributkan talangan yang diberikan Pemerintah kepada Bank Century, maka harta warisan kolonial ini pun perlu juga dipertanyakan. Jangan lupa, nilainya beberapa kali lipat nilai talangan Bank Century.---



Monday, April 2, 2012

PKS DAN KOALISI PARTAI

Sungguh geram para politisi PD terhadap PKS hari-hari ini. Saya sangat bisa memahami kegeraman mereka itu. Mereka tentu merasa telah dipermalukan oleh teman sebantal seketiduran tersebut! Dan permaluan itu bukan pula terjadi untuk pertama kalinya.

Di tengah-tengah ketidakyakinan masyarakat akan konsistensi sikap PKS menolak kenaikan harga BBM yang diusulkan Pemerintahan SBY, justru partai tersebut mempertontonkan tekadnya membela rakyat. Di dalam sidang paripurna DPR yang melakukan voting terhadap usul kenaikan harga BBM itu para anggota fraksi PKS duduk dengan tenangnya sambil menyaksikan kekalahan yang dialami para penentang usul Pemerintah.

Dengan sikap itu, para anggota fraksi PKS seakan-akan ingin memperlihatkan kepada bangsa ini betapa mereka berjiwa besar untuk menerima kekalahan. Mereka ingin mempertontonkan bahwa mereka telah membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat sampai detik-detik terakhir persidangan.

Memang PKS bukanlah satu-satunya partai yang menentang kenaikan harga BBM. Dan PKS bukan pula partai pertama yang menentang keinginan Pemerintah SBY itu. Adalah PDI-P, Hanura dan Gerindra yang lebih dahulu dan lebih gencar menyuarakan penolakan mereka.

Namun berbeda dari ketiga partai itu, PKS adalah partai anggota koalisi pendukung Presiden SBY. Oleh sebab itu pula awalnya ada keraguan dalam masyarakat akan keberanian PKS untuk menolak kenaikan harga BBM. Ketika PKS menyuarakan penentangannya terhadap kenaikan harga BBM, masyarakat menganggapnya sebagai 'akal-akalan politisi' saja.

Saya menilai hantaman PKS terhadap PD kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Sebelumnya PKS juga berbuat hal yang sama menyangkut kasus Bank Century. Namun saat itu PKS bukanlah satu-satunya partai anggota koalisi yang berseberangan dengan PD, sehingga kekecewaan PD mudah diabaikan begitu saja oleh PKS.

Situasinya berbeda dalam kasus BBM. Kali ini PKS merupakan the one and only partai anggota koalisi yang membangkang keinginan Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM. Pembangkangan ini dilakukan justru secara sangat 'berani', tanpa sungkan. Padahal partai anggota koalisi yang lain selain PD,  'hanya berani' menundanya saja.

Tentu saja para petinggi PD merasa jengkel dan sakit hati diperlakukan seperti itu oleh PKS. Tetapi apa mau dikata. Pucuk pimpinan PD sama sekali tidak berdaya untuk mengambil sesuatu tindakan terhadap mitra koalisi yang menyimpang. Sebab kekuasaan tertinggi di dalam PD ada pada Ketua Dewan Pembina dan bukan pada Ketua Umum.

Oleh sebab itu, DPP PD hanya mengusulkan kepada SBY, selaku Ketua Dewan Pembina, untuk melakukan evaluasi terhadap keanggotaan PKS dalam koalisi. Mereka tidak 'mampu' mengusulkan kepada SBY agar PKS dipecat saja dari koalisi, padahal mereka sudah sangat jengkel.

Lebih menjengkelkan lagi bagi mereka, SBY pun tidak serta merta menjewer PKS. Desakan para kader partainya disikapi SBY dengan berkelit. Dia akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan sesama mitra koalisi lainnya.

Mudah diduga bahwa sikap SBY yang seperti itu bahkan membuat para petinggi PD frustrasi. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka tambah geram dan jengkel saja.

Akan halnya SBY, apakah dia berani atau mampu mengambil tindakan konkrit terhadap PKS? Saya yakin, SBY tidak akan mengeluarkan PKS dari koalisi. Terlalu riskan bagi dia dan pemerintahannya. 

Ada sejumlah alasan yang menghambat SBY untuk mengeluarkan PKS dari koalisi.  Pertama, hal itu dapat merusak citra 'sebagai orang yang teraniaya' yang selama satu dekade ini dengan konstan dibangun SBY. Kalau PKS dipecat, maka tidak mustahil SBY yang justru akan dicap sebagai 'penganiaya'. 

Kedua, jikalau PKS dikeluarkan dari koalisi, maka akan bertambah satu lagi oponen SBY dan PD di parlemen. Kemungkinan ini akan sangat berat bagi SBY, apalagi kalau dia tidak bisa mendapatkan pengganti PKS di koalisi.

Ketiga, siapa yang akan menggantikan posisi PKS di koalisi nanti? PDI-P? Sangat mustahil PDI-P mau bergabung dengan koalisi pada saat popularitas Pemerintah SBY sedang merosot. Begitu pula amat mustahil Hanura mau membantu SBY.

Satu-satunya harapan yang tinggal bagi SBY adalah merekrut Gerindra ke dalam koalisi. Namun dalam hal ini pun saya percaya bahwa harapan tersebut akan sulit diwujudkan.  Pastilah Gerindra sudah belajar dari masa lalu, di mana bantuan yang diberikannya kepada SBY tidak memperbesar peranan politik Gerindra.

Konstalasi politik ini sudah dibaca oleh para petinggi PKS. Dengan konstalasi yang demikian, mereka yakin bahwa SBY tidak akan mau dan tidak akan mampu mengeluarkan partai mereka dari koalisi.  

Ada satu kondisi lain yang meneguhkan tekad mereka untuk membangkang. Sekarang ini,mengeluarkan PKS dari koalisi sama dan sebangun dengan me-reshuffle kabinet! Dan kalau kabinet sampai dibongkar oleh SBY, maka popularitas pemerintahannya akan semakin merosot.

Jadi, PKS sudah penuh perhitungan pada saat ia membangkang terhadap SBY dan PD. Dengan menolak kenaikan harga BBM, PKS akan menarik simpati rakyat dan membagi simpati tersebut bersama PDI-P, Hanura dan Gerindra. Tentu saja ini menjadi modal yang cukup besar bagi PKS dalam menghadapi Pemilu 2014.

Dari ujung yang lain, PKS merupakan duri dalam daging bagi SBY dan PD. Dicabut atau tidak, duri itu akan sangat menyakitkan.---

Sunday, April 1, 2012

PEMOTOR, POLISI DAN LALU LINTAS JAKARTA

Salah satu komentar terhadap artikel saya yang berjudul "Mengatasi Kemacetan Jakarta" adalah bahwa saya terlalu mengarahkan analisa saya pada pemotor dan polisi. Dikatakan bahwa para pemotor dan polisi sebenarnya merupakan korban saja dari kesemrawutan lalu lintas Jakarta.

Ada tiga hal yang ingin saya katakan untuk menanggapi komentar tersebut. Yang pertama, saya menyoroti para pemotor dan polisi bukan karena saya tidak suka atau mau bersikap tidak fair kepada mereka. Saya menyoroti mereka lantaran mereka dapat dijadikan sasaran jangka pendek dalam upaya mengatasi kemacetan di kota Jakarta.

Yang kedua, saya sependapat  bahwa para pemotor dan polisi memang merupakan korban dari kesemrawutan lalu lintas di Ibukota kita ini. Bahkan, bukan hanya mereka saja yang telah menjadi korban; ada banyak korban lainnya.

Kita dan semua warga DKI merupakan korban juga. Kiranya juga tidak berlebihan bila saya katakan bahwa Gubernur DKI termasuk juga di antara korban dari ketidakbecusan Pemerintah DKI membenahi persoalan lalu lintas di kota ini.

Bahkan orang yang seharusnya tidak menjadi korban pun justru sudah pula ikut menjadi korban. Yang saya maksudkan di sini adalah para pejalan kaki! Ya, para pejalan kaki pun telah menjadi korban dari ketidakmampuan Gubernur mengurus masalah perlalulintasan ini dan persoalan lain yang berkaitan. 

Bagaimana tidak. Hak menggunakan trotoar telah dirampas dari para pejalan kaki. Terutama beberapa tahun belakangan ini para pejalan kaki sudah tidak lagi dapat menggunakan trotoar dengan nyaman dan aman. Jangan-jangan pada suatu saat nanti para pejalan kaki bisa 'mengharapkan' mereka ditabrak oleh motor di trotoar yang seharusnya merupakan wilayah eksklusif mereka. 

Terlepas dari itu, biar saya dianggap fair juga terhadap para pemotor, perlu saya katakan di sini bahwa  pemotor bukanlah satu-satunya faktor yang membuat trotoar kota Jakarta ini tidak aman bagi pejalan kaki. Jauh sebelum para pemotor melanggar hak pejalan kaki sudah ada faktor lain yang mendahuluinya. Yaitu,  pengusaha warung, tukang tambal ban, tukang rokok, tukang parkir, dlsb.

Mengapa mereka semua merampas hak para pejalan kaki di di atas trotoir? Menyangkut pertanyaan ini, sekali lagi saya harus sependapat dengan pengkritik saya bahwa mereka juga merupakan korban dari ketidakmampuan Pemerintah DKI mengatur lalu lintas  di jalan raya dan di jalan umum. (Catatan: kalau saya tidak salah, definisi jalan umum dalam undang-undang lalu lintas termasuk pula trotoar).

Itu tadi yang berkaitan dengan hal kedua dari uraian saya. Adapun hal ketiga yang ingin saya katakan adalah bahwa tindakan para pemotor pelanggar aturan lalu lintas itu sudah mencapai titik yang amat sangat berbahaya. Prilaku ini berbahaya bagi pemotor sendiri, selain bagi pengguna jalan lainnya.

Umpamanya saja, ada pemotor yang mengendarai motornya secara berlawanan arah. Ada juga pemotor yang berbelok ke kanan, padahal di sana ada rambu yang melarang belok kanan. Sering pula pemotor (dan juga pengendara mobil!) menerobos pertigaan atau perempatan jalan di saat lampu merah sedang menyala. Selain ini, masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran lainnya yang sering kita jumpai di jalanan.

Bukankah semua itu perbuatan yang sangat berbahaya? Setidak-tidaknya buat saya, jawabannya adalah "ya".  Mengapa? Sederhana saja, sudah beberapa kali saya hampir bertabrakan dengan sepeda motor! Saya yakin pengalaman saya ini bukanlah sesuatu yang unik. Tentu banyak sekali pengendara mobil lain yang pernah mengalami hal seperti itu.

Memang, sungguh berbahaya. Namun yang membuatnya lebih berbahaya lagi adalah bahwa pelanggaran tersebut  seakan-akan dibiarkan saja oleh polisi lalu lintas. Mengapa? 
Jawaban atas pertanyaan tersebut pernah saya dapatkan dari seorang perwira polisi lalu lintas, seorang teman dekat. Jawaban yang dia berikan sangat mencengangkan saya.  Kata dia: "Bagaimana mau menindak, para pemotor itu banyak sekali. Bisa-bisa mereka melawan kita". 

Sungguh kaget saya mendengar jawaban dia. Rupanya selama ini polisi tidak berdaya lantaran jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan para pemotor!

Maka timbullah  rasa kasihan saya kepada para polisi lalu lintas. Karena itu kepada teman saya itu saya berikan kiat tentang bagaimana cara menghadapi para pemotor yang melanggar lalu lintas. Namun, tetap saja jarang saya lihat polisi menindak para pemotor yang melanggar aturan lalu lintas.

Saya percaya bahwa banyak di antara kita yang sesak napas menyaksikan keadaan lalu lintas di Jakarta. Harus ada jalan keluar. Mesti ada penegakan hukum di jalan raya, sebagaimana juga harus ada penegakan hukum dalam bidang-bidang lainnya.

Untuk itu polisi mesti bertindak. Saya yakin bahwa kalau polisi menindak, maka situasi akan berubah. Sebaliknya, apabila polisi gagal menindak, maka kesemrawutan di jalan-jalan di Jakarta ini akan semakin parah lagi di bulan-bulan mendatang.

Jadi, sebagai kesimpulan, ada dua faktor yang sangat penting dalam usaha kita menyelesaikan kesemrawutan lalu lintas di Jakarta dalam jangka pendek. Kedua faktor itu adalah pemotor dan polisi.---

Saturday, March 31, 2012

CALON GUBERNUR DAN POLITIK KENAIKAN HARGA BBM 

Tujuan seseorang memasuki dunia politik adalah untuk meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Itu sudah pasti, sekalipun tak terucapkan kepada orang lain. 

Kalau ada tujuan selain daripada keuntungan pribadi, maka dapat dipastikan orang tersebut sangat idealis. Politisi yang idealis seperti yang saya maksudkan itu sudah tentu akan menomorsatukan kepentingan publik di atas kepentingannya sendiri. Tetapi, berapa banyakkah politisi yang sedemikian sekarang ini di Indonesia?
  
Banyak politisi yang tidak menduga bahwa mereka akan mendapat keuntungan dari proses politik yang tengah berlangsung di sekitar mereka. Boleh dikatakan mereka 'terseret arus' keberuntungan. Atau, "seperti mendapat durian runtuh", kata sebagian orang.

Sebaliknya, kendati semua politisi ingin mendapat  keuntungan dari proses politik, tidak sedikit di antara mereka yang gagal mendapatkannya. Alih-alih memperoleh keuntungan, justru kerugian yang mereka alami. Mereka 'terjebak' dalam arus politik yang merugikan.

"Politik sering mengambil korban". Tentu ungkapan seperti ini tidak asing di telinga kita.

Korban pertama (yang saya tahu!) dari politisasi kenaikan harga BBM kemarin adalah Ketua Fraksi PD di DPR, Dr Jafar Hafsah. Dia tergilas oleh keinginan Pimpinan Pusat PD untuk 'memelihara' hubungan baik dengan PG demi menyelamatkan Setgab. Jafar yang salah kutip (?) ucapan Ketua Umum PG, Aburizal Bakrie, tentang besaran subsidi harga BBM, dinon-aktifkan dari kedudukannya sebagai Ketua Fraksi.

Korban-korban berikutnya akan 'berjatuhan' dalam beberapa hari, minggu atau bulan mendatang. Mereka adalah para calon kepala daerah di seluruh Indonesia yang  terjebak dalam kepolitikan sejumlah partai pendukung  Pemerintahan SBY. 

Elektabilitas mereka akan sangat terpengaruh oleh melorotnya popularitas partai-partai koalisi di luar PKS. Tidak perlu saya sebutkan lagi bahwa partai-partai yang saya maksudkan itu adalah PD, PG, PAN, PPP, dan PKB.

Mari kita batasi gambaran ini di DKI saja, sekalipun saya percaya bahwa hal yang sama tidak mustahil bisa terjadi pula di daerah-daerah lain. 

Pasangan cagub Fauzi Bowo dan cawagub Nachrowi tampaknya berada pada posisi yang sangat tidak diuntungkan karena didukung oleh PD dan PAN. Memang Hanura ikut mensponsori pasangan ini, namun popularitasnya tidak akan mampu mengkatrol elektabilitas pasangan ini. 

Apa pasal? Yaah, sederhana saja, 'kemarahan' masyarakat terhadap PD pada saat ini tambah memuncak. Apalagi ditambah dengan PAN yang juga mendukung kenaikan harga BBM.

Cagub Alex Nurdin yang digadangkan oleh PG beserta cawagub Nono Sampono juga akan sangat dirugikan oleh ketidaksediaan Fraksi PG di DPR untuk menolak kenaikan harga BBM. Memang perlu diakui bahwa simpati masyarakat terhadap PG juga sedang merosot.
 
Adapun posisi cawagub Hidayat Nurwahid seharusnya sangat diuntungkan oleh kebijakan PKS yang akhir-akhir ini dengan tegas dan konsisten menolak kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Namun dia pun akan dirugikan oleh pasangannya yang berasal dari PAN, Didik J Rachbini. Jadi, pasangan ini akan terpaksa harus bertumpu semata-mata pada PKS.

Sementara itu, pasangan cagub Joko Widodo dan cawagub Ahok (maaf, saya lupa nama panjangnya), justru terseret dalam arus keberuntungan. Kedua partai pendukungnya, PDI-P dan Gerindra, adalah penentang kenaikan harga BBM yang paling menonjol. Mereka akan menuai panen besar dalam Pilkada DKI mendatang, seiring dengan meningkatnya popularitas PDI-P dan Gerindra.

Peraih keberuntungan lainnya adalah pasangan-pasangan cagub dan cawagub yang independen. Mereka akan mendulang sebagian suara dari partai-partai politik yang tidak disukai masyarakat Jakarta. 

Jadi, siapa yang akan meraup keuntungan besar di antara para cagub dan cawagub tersebut?  Hmmh, sulit dikatakan, apalagi analisa ini hanya berdasarkan pada satu variabel saja, yaitu kenaikan harga BBM. 

Namun, apabila kita bisa mengecilkan peranan kemistri-kemistri lain, saya rasa Jokowi dan Ahok berada pada posisi terdepan. Meskipun begitu, saya tidak mau menganggap remeh para calon independen.

O iya, sebagai catatan tambahan, saya juga tidak ingin mengatakan bahwa para simpatisan PD, PG, PAN, PPP, dan PKB di akar rumput akan memilih calon-calon yang diusung oleh partai-partai tersebut. Cukup banyak di antara simpatisan ini yang kecewa lantaran idola mereka ternyata telah melupakan penderitaan mereka dan justru mendukung kenaikan harga BBM yang menyengsarakan rakyat.

Kelompok simpatisan yang kecewa ini, saya kira, akan mengalihkan dukungan mereka kepada calon-calon yang tidak didukung oleh partai mereka.

Akhirnya, saya lebih suka berada pada posisi yang aman dan enak didengar: wait and see.---





Thursday, March 29, 2012

RAKYAT, PEMERINTAH DAN KENAIKAN HARGA BBM

Para politisi pendukung Pemerintahan SBY tidak habis pikir mengapa banyak orang menentang kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Mereka tidak berhasil meyakinkan para penentang kebijakan SBY ini, padahal mulut mereka sudah berbusa-busa.

Inti argumentasi mereka adalah bahwa defisit APBN yang disebabkan oleh semakin besarnya subsidi BBM sudah tidak dapat ditolerir lagi.  Kalau defisit itu dibiarkan terus membengkak, seperti selama ini, maka bisa-bisa negeri ini akan bangkrut.

Sah-sah saja argumentasi seperti itu, apalagi tidak sedikit  pula orang yang bisa memahaminya. Namun pemahaman kalangan ini lebih banyak pada tataran wacana atau verbal.

Sebaliknya dengan pandangan yang menentang kebijakan yang menaikkan harga BBM. Pandangan ini ada dan bahkan eksistensinya sangat kuat baik di tataran wacana maupun pada tataran tindakan. Sudah lebih dari satu minggu ini Indonesia terus menerus dilanda demonstrasi-demonstrasi.  Yang berdemo itu bukan saja kaum intelektual, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para mahasiswa, melainkan juga kaum pekerja.

Dalam kaitan ini harus diakui bahwa argumentasi para penentang kebijakan SBY lebih dapat meyakinkan masyarakat. Kekuatan argumentasi ini bahkan berhasil memecah soliditas Setgab, partai-partai pendukung Pemerintah SBY, yang  selama ini memang sudah rentan. Di DPR pun hingga kini pihak Pemerintah masih terus bergulat untuk meyakinkan  oposan-oposan mereka.

Namun tetap saja kenyataannya, hiruk pikuk di jalan-jalan dan di media masa telah berhasil membuat  suara-suara pro-Pemerintah menjadi tenggelam. Karena itu, rasa kecewa dan frustrasi semakin menyelimuti para pendukung utama SBY di Partai Demokrat.

Maka muncullah perlawanan mereka dari sudut pandang yang lain. Mereka katakan bahwa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya juga berkali-kali menaikkan harga BBM. Diungkit-ungkitlah, kebijakan Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Habibie tidak disebut-sebut, sebab di masa pemerintahannya harga BBM stabil.

Pengungkapan hal ini oleh mereka tentu saja dimaksudkan untuk membela SBY.  Mereka ingin mengatakan bahwa bukan SBY saja yang menaikkan harga BBM. Lalu dimunculkanlah spekulasi bahwa ada pihak yang tidak senang kepada SBY. Pihak tersebut ingin menjatuhkannya dengan memanfaatkan momentum penolakan rakyat terhadap kenaikan harga BBM.

Tentu, sekali lagi, pandangan seperti itu sah-sah saja; boleh-boleh saja. Hanya saja, menurut hemat saya, pengetahuan para pendukung SBY tersebut terlalu tertuju (atau, terbatas?) pada sebagian fakta menyangkut kebijakan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Mereka tidak tahu (atau tidak mau tahu?) akan lingkungan di mana fakta tersebut eksis. 

Secara singkat saja saya katakan bahwa memang rakyat tidak menolak (secara massif) kenaikan BBM di masa  lampau, karena rakyat bisa, mau dan mampu menerimanya. Alasannya?

Pertama, kondisi ekonomi rakyat kini lebih buruk daripada masa sebelumnya. Memang angka-angka statistik sekarang ini menunjukkan performance perekonomian Indonesia yang cukup baik. Inflasi terkendali pada level yang rendah, ekspor meningkat, utang luar negeri berkurang, angka kemiskinan menurun, dlsb. Semua itu bahkan mendapat pengakuan dunia internasional yang telah memasukkan Indonesia dalam kelompok bergengsi G-20.

Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan rakyat semakin sulit. Besarnya impor produk pertanian telah menyengsarakan para petani; sendi-sendi kehidupan mereka terancam. Sementara itu, impor produk manufaktur telah menyebabkan para pengusaha menekan upah buruh, agar perusahaan dapat tetap berproduksi. Akibatnya, tentu saja, buruh kita tetap hidup dalam kemiskinan.

Kedua, pada saat ini Pemerintahan SBY sedang sangat tidak populer. Di satu pihak, korupsi marak di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di lain pihak,  Pemerintah tidak mampu memberantas korupsi itu dengan efektif. Tak tercegahkan, timbullah ketidakpercayaan terhadap Pemerintahan SBY.

Tidak kurang, kedua kenyataan itu telah membuat rakyat kehilangan harapan, bahkan juga frustrasi. Dalam keadaan demikian, tentu saja rakyat tidak bisa diajak berkompromi untuk menerima kenaikan harga BBM. Manalagi kalau diyakini bahwa kenaikan tersebut akan lebih mempersulit kehidupan mereka.---







 

Tuesday, March 27, 2012

TENTANG PEMINDAHAN IBUKOTA

Perkara pemindahan ibukota dari Jakarta ke tempat lain, muncul tenggelam dalam beberapa tahun terakhir ini. Yang terakhir isu ini diangkat oleh Ketua MPR, Taufik Kiemas, saat berkunjung ke Palangkaraya beberapa hari yang lalu.

Sudah kita ketahui bersama, Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, adalah salah satu kota calon pengganti Jakarta. Konon, Presiden Soekarno yang pertama kali mengusulkan gagasan ini. Tidak hanya mengusulkan, Bung Karno bahkan mengarsiteki kota Palangkaraya agar planologinya pas untuk sebuah ibukota negara.

Namun tidak semua orang sepaham dengan Bung Karno. Di masa Orde Baru, dan terutama lagi dalam 2 tahun terakhir ini, ada pemikiran untuk memindahkan ibukota dengan membangun sebuah kota yang benar-benar baru, yang tidak jauh letaknya dari Jakarta.

Mengapa ibukota harus dipindahkan dari Jakarta? Mengapa Jakarta tidak pas menjadi ibukota Republik Indonesia?

Bung Karno mendasarkan pendapatnya pada landasan geografi. Dia mau ibukota negara terletak di tengah-tengah ruang geografi Indonesia, sehingga memudahkan semua orang, dari ujung Timur sampai ujung Barat, untuk menjangkaunya. Di mata dia, Palangkaraya-lah yang paling memenuhi syarat untuk itu.

Pandangan yang lain berpendapat bahwa Jakarta sudah berkembang menjadi kota bisnis yang sangat besar, sehingga tidak nyaman lagi untuk menjadi sebuah ibukota negara. Jakarta sudah terlalu padat dengan lalulintasnya yang selalu macet. Agaknya Washington dan Canberra yang menjadi acuan mereka. Namun pendudukung gagasan ini tidak setuju kalau ibukota dipindahkan  ke kota lain di Pulau Jawa, yang jauh dari Jakarta. Maklum, bisa menimbulkan masalah politik baru.

Kedua pandangan atau alasan di atas, menurut hemat saya, tidaklah cukup untuk menyebabkan bangsa ini mengungsikan ibukota dari Jakarta. Alasan Bung Karno tidak kuat, karena mana ada sih (sepengetahuan saya) di dunia ini lokasi ibukota dari suatu negara dengan wilayah yang luas, benar-benar terletak di tengah-tengah lingkup geografinya? Lagi pula, lokasi seperti itu pun sekarang ini sudah tidak lagi relevan, karena sistem komunikasi dan transportasi kita yang sudah berkembang begitu pesat. 

Saya juga tidak melihat validitas argumentasi kedua. Sebab, Jakarta bukanlah satu-satunya kota di dunia yang menjadi ibukota negara yang sekaligus juga berfungsi sebagai "ibukota" bisnis. Sebut saja beberapa: Tokyo, Seoul, London, Paris, dan lain-lain.

Sebaiknya kita tidak lari dari persoalan yang pada ujungnya justru menimbulkan permasalahan yang lain lagi. Pasti, pemindahan ibukota ke lokasi lain akan membawa konsekuensi dana yang sangat besar. Pada saat ini saya yakin Indonesia tidak akan dapat memenuhinya. Antara lain, Pemerintah harus membangun fasilitas-fasilitas administrasif dan politik yang baru. Ibukota yang baru itu pun tidak mungkin eksis tanpa pembangunan fasilitas-fasilitas sosial dan budaya. Bayangkan bagaimana besarnya dana yang diperlukan. Mampukah kita?

Di satu pihak, memindahkan ibukota ke Palangkaraya akan menyebabkan mobilitas tinggi antara kota itu dengan kota-kota lain di Jawa. Sebab sebagian besar politisi kita berasal dari Jawa. Untuk ini biaya yang mudah terlihat dan yang tidak terlihat, juga akan besar sekali.

Di lain pihak, memindahkan ibukota ke lokasi baru yang tidak jauh dari Jakarta, seperti Jonggol misalnya, juga tidak menyelesaikan masalah. Dalam hal ini saya percaya para politisi kita akan tetap mempertahankan domisili mereka di Jakarta, sehingga lalu lintas antara kedua kota itu akan padat juga.

Jadi bagaimana penyelesaiannya? Ibukota kita sebaiknya tetap berada di Jakarta. Namun kita perlu menyelesaikan beberapa "masalah Jakarta" agar kota ini nyaman untuk dijadikan ibukota negara. Saya percaya bahwa masalah ini  akan dapat kita selesaikan dengan cepat dan baik, kalau memang ada kemauan politik.

Dalam kaitan ini, Jakarta harus tetap menjadi ibukota negara, tetapi tidak boleh lagi berfungsi sebagai ibukota bisnis. Pembangunan ekonomi dan kegiatan bisnis harus disebarkan (kalau mungkin) ke seluruh daerah. Indonesia harus mempunyai banyak ibukota bisnis, jangan tunggal seperti sekarang. Tentu saja langkah ini akan membuat tersedot dan mengalirnya sumber daya manusia Indonesia ke berbagai penjuru tanah air.

Kalau hal ini dapat kita lakukan, saya jamin, penduduk Jakarta akan sangat berkurang. Jakarta akan kembali menjadi kota yang nyaman dihuni seperti tahun 1950an-1980an. Jalanan tidak lagi macet seperti sekarang, sementara fasilitas seperti air dan listrik akan mudah dipenuhi oleh Pemerintah Jakarta. Ini semua karena jumlah penduduknya yang berkurang itu.

Tidak percaya? Silakan coba.---