PEMOTOR, POLISI DAN LALU LINTAS JAKARTA
Salah satu komentar terhadap artikel saya yang berjudul "Mengatasi Kemacetan Jakarta" adalah bahwa saya terlalu mengarahkan analisa saya pada pemotor dan polisi. Dikatakan bahwa para pemotor dan polisi sebenarnya merupakan korban saja dari kesemrawutan lalu lintas Jakarta.
Ada tiga hal yang ingin saya katakan untuk menanggapi komentar tersebut. Yang pertama, saya menyoroti para pemotor dan polisi bukan karena saya tidak suka atau mau bersikap tidak fair kepada mereka. Saya menyoroti mereka lantaran mereka dapat dijadikan sasaran jangka pendek dalam upaya mengatasi kemacetan di kota Jakarta.
Yang kedua, saya sependapat bahwa para pemotor dan polisi memang merupakan korban dari kesemrawutan lalu lintas di Ibukota kita ini. Bahkan, bukan hanya mereka saja yang telah menjadi korban; ada banyak korban lainnya.
Kita dan semua warga DKI merupakan korban juga. Kiranya juga tidak berlebihan bila saya katakan bahwa Gubernur DKI termasuk juga di antara korban dari ketidakbecusan Pemerintah DKI membenahi persoalan lalu lintas di kota ini.
Bahkan orang yang seharusnya tidak menjadi korban pun justru sudah pula ikut menjadi korban. Yang saya maksudkan di sini adalah para pejalan kaki! Ya, para pejalan kaki pun telah menjadi korban dari ketidakmampuan Gubernur mengurus masalah perlalulintasan ini dan persoalan lain yang berkaitan.
Bagaimana tidak. Hak menggunakan trotoar telah dirampas dari para pejalan kaki. Terutama beberapa tahun belakangan ini para pejalan kaki sudah tidak lagi dapat menggunakan trotoar dengan nyaman dan aman. Jangan-jangan pada suatu saat nanti para pejalan kaki bisa 'mengharapkan' mereka ditabrak oleh motor di trotoar yang seharusnya merupakan wilayah eksklusif mereka.
Terlepas dari itu, biar saya dianggap fair juga terhadap para pemotor, perlu saya katakan di sini bahwa pemotor bukanlah satu-satunya faktor yang membuat trotoar kota Jakarta ini tidak aman bagi pejalan kaki. Jauh sebelum para pemotor melanggar hak pejalan kaki sudah ada faktor lain yang mendahuluinya. Yaitu, pengusaha warung, tukang tambal ban, tukang rokok, tukang parkir, dlsb.
Mengapa mereka semua merampas hak para pejalan kaki di di atas trotoir? Menyangkut pertanyaan ini, sekali lagi saya harus sependapat dengan pengkritik saya bahwa mereka juga merupakan korban dari ketidakmampuan Pemerintah DKI mengatur lalu lintas di jalan raya dan di jalan umum. (Catatan: kalau saya tidak salah, definisi jalan umum dalam undang-undang lalu lintas termasuk pula trotoar).
Itu tadi yang berkaitan dengan hal kedua dari uraian saya. Adapun hal ketiga yang ingin saya katakan adalah bahwa tindakan para pemotor pelanggar aturan lalu lintas itu sudah mencapai titik yang amat sangat berbahaya. Prilaku ini berbahaya bagi pemotor sendiri, selain bagi pengguna jalan lainnya.
Umpamanya saja, ada pemotor yang mengendarai motornya secara berlawanan arah. Ada juga pemotor yang berbelok ke kanan, padahal di sana ada rambu yang melarang belok kanan. Sering pula pemotor (dan juga pengendara mobil!) menerobos pertigaan atau perempatan jalan di saat lampu merah sedang menyala. Selain ini, masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran lainnya yang sering kita jumpai di jalanan.
Bukankah semua itu perbuatan yang sangat berbahaya? Setidak-tidaknya buat saya, jawabannya adalah "ya". Mengapa? Sederhana saja, sudah beberapa kali saya hampir bertabrakan dengan sepeda motor! Saya yakin pengalaman saya ini bukanlah sesuatu yang unik. Tentu banyak sekali pengendara mobil lain yang pernah mengalami hal seperti itu.
Memang, sungguh berbahaya. Namun yang membuatnya lebih berbahaya lagi adalah bahwa pelanggaran tersebut seakan-akan dibiarkan saja oleh polisi lalu lintas. Mengapa?
Jawaban atas pertanyaan tersebut pernah saya dapatkan dari seorang perwira polisi lalu lintas, seorang teman dekat. Jawaban yang dia berikan sangat mencengangkan saya. Kata dia: "Bagaimana mau menindak, para pemotor itu banyak sekali. Bisa-bisa mereka melawan kita".
Sungguh kaget saya mendengar jawaban dia. Rupanya selama ini polisi tidak berdaya lantaran jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan para pemotor!
Maka timbullah rasa kasihan saya kepada para polisi lalu lintas. Karena itu kepada teman saya itu saya berikan kiat tentang bagaimana cara menghadapi para pemotor yang melanggar lalu lintas. Namun, tetap saja jarang saya lihat polisi menindak para pemotor yang melanggar aturan lalu lintas.
Saya percaya bahwa banyak di antara kita yang sesak napas menyaksikan keadaan lalu lintas di Jakarta. Harus ada jalan keluar. Mesti ada penegakan hukum di jalan raya, sebagaimana juga harus ada penegakan hukum dalam bidang-bidang lainnya.
Untuk itu polisi mesti bertindak. Saya yakin bahwa kalau polisi menindak, maka situasi akan berubah. Sebaliknya, apabila polisi gagal menindak, maka kesemrawutan di jalan-jalan di Jakarta ini akan semakin parah lagi di bulan-bulan mendatang.
Jadi, sebagai kesimpulan, ada dua faktor yang sangat penting dalam usaha kita menyelesaikan kesemrawutan lalu lintas di Jakarta dalam jangka pendek. Kedua faktor itu adalah pemotor dan polisi.---
Jadi, sebagai kesimpulan, ada dua faktor yang sangat penting dalam usaha kita menyelesaikan kesemrawutan lalu lintas di Jakarta dalam jangka pendek. Kedua faktor itu adalah pemotor dan polisi.---
No comments:
Post a Comment