Wednesday, April 25, 2012

BANGSA YANG MENIPU DIRI SENDIRI

Baru saja, hari ini, televisi memberitakan tentang kesiapsiagaan Polri menghadapi peringatan ulang tahun RMS (Republik Maluku Selatan). Rupanya sebagian saudara-saudara kita di Tanah Ambon sedang bersiap-siap merayakan ulang tahun 'proklamasi kemerdekaan' wilayah timur Indonesia itu.

Antisipasi Polri itu seharusnya menyentak perhatian kita, terutama di luar Maluku, bahwa ada keresahan di sana. 

Di satu pihak, polisi resah lantaran mereka memperhitungkan kemungkinan terjadinya kerusuhan di Maluku. Di lain pihak, masyarakat Maluku sendiri juga gelisah bahwa kerusuhan itu akan membuat suasana mencekam yang akan mengusik ketenangan hidup mereka. Malah tidak mustahil, korban jiwa akan berjatuhan.

Itulah suasana yang kita hadapi setiap tahun dalam beberapa puluh tahun belakangan ini di Maluku. Akan tetapi suasana seperti ini bukanlah monopoli Tanah Ambon saja.

Suasana yang sama terdapat pula di Papua. Peringatan hari  'kemerdekaan' Papua pada bulan Desember tahun lalu telah merenggut beberapa jiwa anak bangsa di sana. Agaknya aparat keamanan akan lebih mewaspadai lagi perkembangan menjelang akhir tahun ini. Suasana pasti akan mencekam kembali.

Untunglah usaha separatis di Aceh telah berhasil kita akhiri sejak 2005. Namun fakta menunjukkan bahwa pihak keamanan tetap saja mewaspadai hari-hari menjelang ulang tahun GAM pada setiap bulan Desember.

Apa arti yang tersirat dalam kewaspadaan pihak keamanan tersebut? Secara singkat dapat saya katakan bahwa mereka sadar bahwa benih-benih separatisme masih hidup di tengah-tengah masyarakat di ketiga daerah tersebut.

Sejauh mana Pemerintah Pusat menghayati realitas ini? Mungkin cukup jauh juga, namun kesan yang saya peroleh adalah sebaliknya. Pemerintah tidak pernah mau meninjau secara serius sebab musabab tersemainya benih-benih separatisme di daerah-daerah itu. Pemerintah tidak pernah menjawab secara real dan tuntas kekecewaan-kekecewaan yang dialami rakyat ketiga daerah itu (dan mungkin juga di daerah-daerah lain).

Pemerintah selalu meninabobokkan rakyat dengan 'senandung' NKRI. Memang lagu tersebut berhasil menidurkan sebagian anak bangsa, tetapi gagal menidurkan sebagian lainnya. Mengapa? Karena rakyat di sebagian daerah tidak merasakan nikmat 'kesatuan' dari NKRI itu.

Mereka tidak merasa 'bersatu' dalam Indonesia. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat selama ini membedakan mereka dengan sebagian daerah lain. Kita tidak akan dapat  menafikan hal ini pada saat kita mengunjungi daerah-daerah tersebut.

Saya sendiri tidak mampu menahan tetesan air mata ketika saya mengunjungi Kupang 15 tahun yang lalu. Saya merasa tertipu oleh jargon NKRI: "kita ambil dari daerah kaya, kita bagikan kepada daerah miskin". NTT adalah  salah satu bukti dari kepalsuan jargon tersebut. 

Kenyataan itu didukung oleh data realisasi investasi, misalnya. Mayoritas investasi selama ini masih bertumpuk di Jawa. Baru pada triwulan pertama tahun ini, realisasi investasi di luar Jawa mencapai 47%, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 44%. Artinya, bagaimanapun juga, pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa. (Kompas, 24/4/2012)

Pengolahan data yang saya buat dari sumber yang sama membuat saya menahan napas. Simaklah: persebaran investasi tersebut, 17% di Sumatera, 14% di Kalimantan, 7% di Sulawesi, dan 7% di Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua.

Memang tidak semua daerah-daerah tersebut di atas tidak mengumbar sikap separatisme. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka puas terhadap Pusat. Kekecewaan mereka saya deteksi dalam kunjungan saya yang intens di daerah-daerah tersebut pada awal 2000an. 

Saya tahu bahwa mereka tidak akan mengungkapkan perasaan mereka ke atas permukaan. Namun jelas hal ini akan menjadi lahan yang subur bagi benih-benih separatisme di masa depan.

Keadaan inilah yang ingin dinafikan oleh Pemerintah Pusat  bersama sebagian rakyat di luar daerah-daerah tersebut dengan sikap yang tidak mau tahu. Bahkan kita cenderung bersikap menipu diri sendiri. 

Di satu pihak, Pemerintah senang menggembar gemborkan kehebatan bangsa ini dengan angka pertumbuhan ekonomi yang sekian persen. Pemerintah juga seakan lupa diri dengan pujian-pujian dunia internasional bahwa RI adalah salah satu kekuatan besar ekonomi dunia. Dalam pada itu, Pemerintah sibuk pula membanggakan prestasinya yang, entah benar entah tidak, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan.

Dan, di lain pihak, bagaimana dengan kita? Banyak di antara kita yang melihat bahwa masalah utama yang dihadapi bangsa ini sekarang hanyalah korupsi yang merajalela dan persoalan salah urus pimpinan negara. Kita sering berpikir bahwa kalau masalah-masalah tersebut dapat kita atasi, maka negeri ini akan  sejahtera. 

Tentu saja saya tidak ingin terperangkap dalam pola pikir seperti itu. Bagi saya, pembangunan ekonomi, pemberantasan korupsi dan mismanagement adalah beberapa di antara tantangan yang kita hadapi sekarang ini. Namun masih ada masalah lain yang lebih fundamental, yakni menyangkut fondasi kebangsaan kita.

Haruslah diakui bahwa fondasi negara ini masih belum kokoh, terutama menyangkut aspek persatuan dan kesatuan bangsa. Boleh saja sejumlah elite politik Pusat berpendapat bahwa sistem NKRI sudah final. Akan tetapi buktinya sejumlah daerah masih mempersoalkannya.

Selama itu pula pihak keamanan akan harus terus aktif mengantisipasi perkembangan di daerah-daerah tersebut. Sementara itu, kehidupan masyarakat di daerah-daerah itu akan terus menerus terasa mencekam.

Jadi, boleh saja kita menutup mata terhadap kenyataan itu. Tetapi itu berarti kita menipu diri sendiri. Berapa lama lagikah kita sanggup bersikap begitu?---


No comments:

Post a Comment