Saturday, April 28, 2012

MAHKAMAH AGUNG PROVINSI

Judul ini terasa aneh, bukan? Memang aneh. Saya sendiri juga  merasakannya. Betapa tidak. Istilah "mahkamah agung" berarti lembaga peradilan paling top di sebuah negara. Di negara-negara lain biasa dikenal sebagai "supreme court". Dengan menyandang sebutan "agung" atau "supreme", maka berarti mahkamah tersebut tidak mempunyai sandingan, apalagi tandingan.

Tetapi dalam tulisan ini saya mengkaitkan "keagungan" mahkamah bukan dengan negara melainkan dengan provinsi. Akibatnya, mungkin saja, istilah "agung" itu menjadi kehilangan makna. Maknanya tidak lagi "supreme" lantaran fungsi mahkamah ditempatkan pada level provinsi dari sebuah negara.

Saya memutuskan untuk menggunakan judul di atas, di satu pihak, karena saya belum menemukan istilah lain yang lebih tepat dan tidak keluar dari rel pemikiran konstitusi kita. Namun di lain pihak, saya juga berpendapat biar saja seperti itu, sebab agung tidaknya sebuah mahkamah tidak tergantung pada di mana ia berada, melainkan pada bagaimana ia berfungsi atau difungsikan.

Sesuatu lembaga yang bermerek "agung" kalau tidak  difungsikan atau berfungsi sesuai dengan keagungannya, maka keberadaan lembaga tersebut menjadi tidak bermakna. Masih ingatkah anda bahwa kita pernah mempunyai DPA (Dewan Pertimbangan Agung)? 

DPA kita itu kehilangan maknanya lantaran "keagungannya" tidak difungsikan. Nasihat atau pertimbangan-pertimbangan DPA sering diabaikan presiden sejak zaman Orla sampai Orba. Situasi itu berlanjut pada masa Reformasi, sehingga akhirnya DPA kehilangan eksistensinya. DPA dibubarkan karena kita tidak mampu memberikan fungsi yang pas kepadanya. 

Kini MA (Mahkamah Agung) kelihatannya akan bernasib sama seperti DPA, jikalau kita tidak mampu memberikan makna kepada harkat keagungannya. Malahan kecenderungan kita akhir-akhir ini justru mengarah pada penghancuran MA. Paling tidak, itulah yang saya lihat sekarang ini. Tidak percaya?  

Haruslah diakui bahwa bahwa selama ini kita senantiasa melecehkan MA. Hal ini seakan-akan sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Situasi ini diperparah lagi dengan dibentuknya KY (Komisi Yudisial). KY cenderung pula ikut-ikutan melecehkan MA. Dengan adanya KY, sekarang kita tidak tahu lagi secara persis mana yang lebih agung di antara MA dan KY.

Dengan mengatakan demikian, janganlah diartikan bahwa saya membela atau berpihak kepada MA. Tidak ada kepentingannya bagi saya untuk berbuat seperti itu.

Cukup jelas bagi siapapun bahwa nasib malang menimpa MA karena lembaga ini tidak mampu memaknai keagungan posisinya dalam sistem peradilan kita. Ia tidak mampu menjalankan fungsinya dengan bersikap independen sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. 

Akibatnya, ia tidak sanggup memberikan keadilan kepada rakyat, padahal itulah yang diharapkan dari suatu "supreme court". Karena itu menggelindingnya proses penghancuran MA tidak dapat dihindarkan lagi.

Akan tetapi, menurut hemat saya, tidak hanya faktor itu saja yang telah mendorong bergulirnya proses penghancuran tersebut. Ketidakmampuan MA memberikan keadilan kepada masyarakat bukan single factor yang merusak citra MA.

Ada faktor lain yang selama ini mungkin telah kita abaikan. Yaitu bahwa beban MA terlalu besar. MA sudah over-loaded! Kita lupa bahwa penduduk negeri ini sangat besar, sementara kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat kita tidak sama-dan-sebangun dengan negara-negara lain, termasuk dengan tetangga-tetangga kita di ASEAN.

Oleh sebab itu tidaklah bijaksana apabila kita dengan begitu saja berpaling kepada negara lain untuk mendapatkan solusi bagi permasalahan bangsa kita. Tidak seharusnya kita membentuk KY lantaran Thailand mempunyai lembaga sejenis. 

Ternyata sekarang pembentukan KY jauh dari menyelesaikan masalah hukum kita. Malah kontroversi yang timbul telah memperumit permasalahan. 

Kita gagal melihat kenyataan bahwa salah satu sumber masalah hukum kita adalah jumlah penduduk yang terlalu besar. Dengan penduduk sekitar 240 juta, kita mempunyai jumlah perkara yang jauh lebih besar daripada banyak negara lain di dunia.

Karena itu tidaklah mengherankan apabila MA mempunyai tumpukan perkara yang amat besar, sehingga sulit untuk dapat diselesaikannya. Kalau saya tidak salah, saat ini MA mempunyai sekitar 20.000 tunggakan perkara.

Nah, bayangkanlah betapa besar beban psikologis yang dihadapi para hakim agung di MA. Tentu saja ini bukan masalah kecil. Dampaknya bisa menjalar ke mana-mana dalam lingkup struktur dan fungsi MA. Karena itu perlu dicarikan solusinya.

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengurangi beban kerja MA. Untuk itu MA perlu mendelegasikan dan mendistribusikan sebagian kewenangannya kepada provinsi-provinsi. 

Dalam kaitan ini perlu dibentuk MA tingkat provinsi. MA Provinsi ini bertindak sebagai "supreme court" pada tingkat provinsi. Kasasi dan PK harus diselesaikan pada tingkat provinsi, sehingga tidak perlu dibawa ke Jakarta. 

Dengan begitu, tugas utama MA adalah melakukan koordinasi dan supervisi kepada MA Provinsi.  Syukur-syukur  dengan begini, kelemahan-kelemahan yang ada dapat terkoreksi.--- 






No comments:

Post a Comment