Sunday, April 22, 2012

PEMIMPIN PECUNDANG

Sebenarnya saya ingin memberi judul-judul lain untuk tulisan inii. Di antara judul yang saya inginkan itu adalah: "Bangsa Penakut" atau "Bangsa Pengecut". Alternatif judul seperti ini tidak jadi saya pergunakan, karena saya khawatir banyak orang yang akan marah nantinya.

Pada dasarnya gambaran saya tentang bangsa kita ini, yaah memang seperti itu. Tentu saja tidak semua orang Indonesia seperti itu. Banyak sekali orang yang saya kenal, yang saya tahu atau saya dengar, tidak bermental seperti itu. Anda juga tidak termasuk dalam kategori "pengecut" atau "penakut". Buktinya, anda berani membaca tulisan ini.

Memang tidak seharusnya kita mempunyai pemimpin-pemimpin pecundang. Mengapa?  Karena sejak di bangku TK (yang saya tidak sempat nikmati, karena tidak ada di kota saya waktu itu) anak-anak Indonesia sudah diajarkan untuk bersikap berani.

Saya tidak bohong. Anda masih ingat akan lagu "Nenek Moyangku Orang Pelaut"? Nah, ini merupakan sebuah lagu luar biasa yang mensosialisasikan "nilai keberanian" kepada bangsa kita. Selain itu masih ada lagi "nilai kepahlawanan" yang diserapkan melalui sekolah-sekolah. 

Sampai sekarang tidak pernah terlupakan oleh saya jajaran gambar para pahlawan nasional, para penentang kolonialisme, yang terpajang di dinding sekolah saya. Itu di Sekolah Rakyat (sama dengan SD sekarang), di tahun 1950an. Sungguh terasa menggelegak darah saya kala menyaksikan gambar-gambar Teuku Umar, Panglima Polem, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin dan Pattimura tersebut.

Tetapi di manakah sekarang nilai-nilai keberanian dan kepahlawanan itu? Masihkah nilai-nilai tersebut bertengger di otak para pemimpin kita?

Terus terang saja saya tidak melihatnya. Sebab, nilai-nilai tersebut tidak tercermin di dalam banyak prilaku politik kita sekarang. Lihatlah, betapa takutnya (sebagian) pemimpin kita menghadapi bangsa dan negara lain. Kita tunduk begitu saja kepada tekanan-tekanan mereka. Seharusnya malu kita kepada bangsa Korea Utara, misalnya.

Ingat, Korea Utara itu tidak sekaya Indonesia. Penduduknya sedikit, sementara sumber daya alamnya hanya secuil, kalau dibandingkan dengan kita. Namun daya juangnya melebihi takaran biasa.

Namun kita tidak perlu menjadi seperti Korea Utara agar tidak dianggap sebagai bangsa penakut. Sungguh tidak bijaksana juga para pemimpin yang membiarkan rakyatnya sengsara seperti di belahan utara Korea itu.

Yang kita kehendaki adalah adanya pemimpin, terutama di pemerintahan, yang berani menentang dunia pada saat kepentingan nasional kita dilecehkan. Harap dicatat bahwa kita dapat melawan kehendak dunia tidak selalu harus secara fisik. Tanpa senjata pun kita dapat melawan ketidakadilan bangsa-bangsa lain terhadap kita.

Ingat, Allah menganugrahkan otak kepada setiap manusia untuk dimanfaatkan. Karena itu mari kita manfaatkan kekuatan anugrah Allah itu untuk membela kepentingan nasional kita. Demi kesejahteraan rakyat.

Jangan pernah takut kepada bangsa lain. Juga jangan takut diakali (dikadali!) bangsa lain. Lawan saja. Tetapi dengan menggunakan otak. Sebab bangsa-bangsa yang mengkadali kita juga menggunakan otak. Tidak perlu menggunakan senjata, dan juga tidak perlu merengek-rengek kepada bangsa lain.
  
Jadi, otak harus dilawan dengan otak. Akal mesti dilawan dengan akal. 

Pendekatan ini harus diterapkan pada saat ini, tatkala AS sedang berusaha menghancurkan keunggulan sumber alam kita dalam rangka melindungi kepentingannya sendiri. Kita dikadali AS yang menolak biofuel kelapa sawit dengan alasan lingkungan. Padahal alasan sebenarnya AS adalah mempertahankan keunggulan kedelai, biji bunga matahari, dan lain-lain, sebagai sumber BBM non-fosil.

Akal-akalan AS itu mestilah dilawan dengan akal-akalan pula. Dalam rangka itu, sebagai penghasil CPO terbesar dunia (bersama Malaysia), kita stop saja ekspor CPO sebagai bahan baku biofuel. Kemudian CPO tersebut kita olah menjadi biofuel dan kita manfaatkan sendiri. Sementara itu BBM fosil yang kita miliki, kita ekspor saja semuanya (sebanding dengan produksi biofuel).

Begitu juga halnya dengan produk biji coklat yang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil utama dunia. Negara-negara produsen coklat di Eropa sering menolak biji coklat yang dihasilkan para petani kita, dengan berbagai alasan. Pastilah maksud mereka yang sebenarnya adalah untuk menekan harga coklat kita.

Sebagai solusi bagi kita, kebijakan tersebut harus diakali. Umpamanya, Pemerintah menolak secara cerdas impor makanan coklat dari luar negeri. Saya katakan 'secara cerdas' agar tidak disemprit WTO. Kita olah sendiri saja  coklat kita, lalu kita konsumsi sendiri. Pastilah negara-negara produsen makanan coklat di Eropa akan kelabakan.

Saya yakin sejumlah pemimpin akan mengatakan bahwa apa yang saya katakan ini hanya mudah untuk dikatakan, tetapi sulit untuk diterapkan. Nah, pemimpin seperti ini bermental pecundang, bukan?---

 





 

No comments:

Post a Comment