RAKYAT, PEMERINTAH DAN KENAIKAN HARGA BBM
Para politisi pendukung Pemerintahan SBY tidak habis pikir mengapa banyak orang menentang kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Mereka tidak berhasil meyakinkan para penentang kebijakan SBY ini, padahal mulut mereka sudah berbusa-busa.
Inti argumentasi mereka adalah bahwa defisit APBN yang disebabkan oleh semakin besarnya subsidi BBM sudah tidak dapat ditolerir lagi. Kalau defisit itu dibiarkan terus membengkak, seperti selama ini, maka bisa-bisa negeri ini akan bangkrut.
Sah-sah saja argumentasi seperti itu, apalagi tidak sedikit pula orang yang bisa memahaminya. Namun pemahaman kalangan ini lebih banyak pada tataran wacana atau verbal.
Sebaliknya dengan pandangan yang menentang kebijakan yang menaikkan harga BBM. Pandangan ini ada dan bahkan eksistensinya sangat kuat baik di tataran wacana maupun pada tataran tindakan. Sudah lebih dari satu minggu ini Indonesia terus menerus dilanda demonstrasi-demonstrasi. Yang berdemo itu bukan saja kaum intelektual, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para mahasiswa, melainkan juga kaum pekerja.
Dalam kaitan ini harus diakui bahwa argumentasi para penentang kebijakan SBY lebih dapat meyakinkan masyarakat. Kekuatan argumentasi ini bahkan berhasil memecah soliditas Setgab, partai-partai pendukung Pemerintah SBY, yang selama ini memang sudah rentan. Di DPR pun hingga kini pihak Pemerintah masih terus bergulat untuk meyakinkan oposan-oposan mereka.
Namun tetap saja kenyataannya, hiruk pikuk di jalan-jalan dan di media masa telah berhasil membuat suara-suara pro-Pemerintah menjadi tenggelam. Karena itu, rasa kecewa dan frustrasi semakin menyelimuti para pendukung utama SBY di Partai Demokrat.
Maka muncullah perlawanan mereka dari sudut pandang yang lain. Mereka katakan bahwa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya juga berkali-kali menaikkan harga BBM. Diungkit-ungkitlah, kebijakan Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Habibie tidak disebut-sebut, sebab di masa pemerintahannya harga BBM stabil.
Pengungkapan hal ini oleh mereka tentu saja dimaksudkan untuk membela SBY. Mereka ingin mengatakan bahwa bukan SBY saja yang menaikkan harga BBM. Lalu dimunculkanlah spekulasi bahwa ada pihak yang tidak senang kepada SBY. Pihak tersebut ingin menjatuhkannya dengan memanfaatkan momentum penolakan rakyat terhadap kenaikan harga BBM.
Tentu, sekali lagi, pandangan seperti itu sah-sah saja; boleh-boleh saja. Hanya saja, menurut hemat saya, pengetahuan para pendukung SBY tersebut terlalu tertuju (atau, terbatas?) pada sebagian fakta menyangkut kebijakan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Mereka tidak tahu (atau tidak mau tahu?) akan lingkungan di mana fakta tersebut eksis.
Secara singkat saja saya katakan bahwa memang rakyat tidak menolak (secara massif) kenaikan BBM di masa lampau, karena rakyat bisa, mau dan mampu menerimanya. Alasannya?
Pertama, kondisi ekonomi rakyat kini lebih buruk daripada masa sebelumnya. Memang angka-angka statistik sekarang ini menunjukkan performance perekonomian Indonesia yang cukup baik. Inflasi terkendali pada level yang rendah, ekspor meningkat, utang luar negeri berkurang, angka kemiskinan menurun, dlsb. Semua itu bahkan mendapat pengakuan dunia internasional yang telah memasukkan Indonesia dalam kelompok bergengsi G-20.
Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan rakyat semakin sulit. Besarnya impor produk pertanian telah menyengsarakan para petani; sendi-sendi kehidupan mereka terancam. Sementara itu, impor produk manufaktur telah menyebabkan para pengusaha menekan upah buruh, agar perusahaan dapat tetap berproduksi. Akibatnya, tentu saja, buruh kita tetap hidup dalam kemiskinan.
Kedua, pada saat ini Pemerintahan SBY sedang sangat tidak populer. Di satu pihak, korupsi marak di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di lain pihak, Pemerintah tidak mampu memberantas korupsi itu dengan efektif. Tak tercegahkan, timbullah ketidakpercayaan terhadap Pemerintahan SBY.
Tidak kurang, kedua kenyataan itu telah membuat rakyat kehilangan harapan, bahkan juga frustrasi. Dalam keadaan demikian, tentu saja rakyat tidak bisa diajak berkompromi untuk menerima kenaikan harga BBM. Manalagi kalau diyakini bahwa kenaikan tersebut akan lebih mempersulit kehidupan mereka.---
No comments:
Post a Comment