Thursday, March 8, 2012

URUSAN SALUT KEBANGSAAN

Sejak masa perjuangan kemerdekaan, orang Indonesia sudah terbiasa dengan urusan salut menyalut. Pada masa itu, sampai 1950an, orang masih saling menyapa seraya mengangkat tangan dan menempelkan jari-jari di dahi. Hanya saja, di masa revolusi, gerakan anggota badan itu ditimpali dengan ucapan heroik: "Merdeka!". 

Setelah kemerdekaan tercapai, sepertinya ada semacam kesepakatan dalam masyarakat kita untuk tidak lagi saling menyapa dengan menggunakan istilah "merdeka" itu. Maklum, sudah (merasa) merdeka. Kecuali bagi warga PDI-P, tentunya.

Yang masih konsisten dengan gerakan jari menempel di jidad itu hanyalah anggota TNI, Polri dan umat Islam. Namun ketiga unsur bangsa ini pun tidak mengucapkan "merdeka" saat bersalut. Sementara warga PDI-P mengucapkan "merdeka", tetapi mereka tidak menempelkan jari di dahi.

Di luar masyarakat militer di seluruh dunia, sepengetahuan saya, hanya orang Indonesia saja yang masih bersalut dengan menyentuhkan jari di dahi.  Karena itu, salut dengan gaya seperti ini sudah menjadi ciri khas bangsa kita. Sudah unik.

Salut seperti ini masih dipraktekkan kaum militer dan polisi, serta sebagian masyarakat sipil kita, untuk menghormat dan lagu Indonesia Raya. Namun saya khawatir keunikan salut nasional ini mulai memudar di kalangan masyarakat sipil akhir-akhir ini.

Beberapa kali saya merasa prihatin dan sedih ketika menyaksikan olahragawan kita tidak lagi menggunakan salut yang unik ini pada saat mereka menghormati Sang Saka Merah Putih dan lagu Indonesia Raya di forum internasional. Sebagai gantinya, mereka meletakkan tangan kanan di dada kiri mereka.

Malam kemarin saya menyaksikan pertandingan sepak bola dalam rangka Hasanal Bolkiah Trophy di Brunei, antara Timnas Vietnam dengan Timnas Indonesia. Kesebelasan Vietnam serentak meletakkan tangan kanan di atas dada untuk menghormati lagu kebangsaan mereka. Tidak kalah gesit, hal yang sama juga dilakukan oleh Timnas Indonesia sesudah itu. Gaya bersalut mereka sama.

Maka hilanglah keunikan kita. Atau memang tidak perlu dipertahankan lagi dalam era globalisasi ini?

Menurut saya, keunikan tersebut perlu diabadikan. Bagi kita, keunikan salut itu merupakan bagian daripada sejarah pembentukan bangsa ini yang perlu kita lestarikan. "Jangan lupakan sejarah", pesan Bung Karno.---

No comments:

Post a Comment