Sunday, March 25, 2012


SUPERIORITAS LONDO

Semua kita tahu bahwa sebagian wilayah Indonesia sekarang ini pernah dijajah Belanda sampai selama 350 tahun, atau 3,5 abad. Wow, sungguh waktu yang sangat amat lama sekali. Of course, sungguh lama sekali. Masa itu dihitung sejak beralihnya 'kekuasaan' VOC, suatu kelompok saudagar Belanda yang datang ke mari, menjadi pemerintahan kolonial Belanda.

Tentu saja penjajahan yang begitu lama sangat membekas dalam otak bangsa kita sampai sekarang ini. Bekas atau kesan yang demikian terhadap kaum penjajah itu dapat disimpulkan dalam satu istilah saja: Londo. Istilah ini masih sangat populer di pedesaan Jawa sampai, yang saya amati sendiri, awal 1970an. Entah apa masih ada sekarang ini? Tidak tahu saya.

Kalau di Jakarta istilah "londo" itu sekarang tidak lagi dirujukkan kepada Belanda, tetapi semua orang kulit putih. Tentu saja, ini sampai istilah itu digantikan oleh sebutan lain yang lebih bersifat kultural: bule.

Dalam kehidupan masyarakat kita sampai kini, istilah "londo" itu mencerminkan pengakuan bangsa ini (atau hanya  elite politiknya saja?) akan superioritas orang kulit putih. Semua "orang putih" yang datang entah dari bagian dunia mana, kita pandang lebih unggul daripada bangsa kita sendiri. 

Bahkan secara kultural juga! Tidak percaya? Lihat saja di sinetron-sinetron kita. Tidak sedikit artis-artis kita yang berkulit putih dan berhidung mancung aliran blasteran. Jadi, londo blasteran saja lakunya bukan main di dunia persinetronan kita. (Londo asli juga mulai laku, meskipun baru dalam acara komedi di televisi).

Di arena politik ada satu atau dua londo blasteran. Tetapi pengaruh mereka dalam dunia politik kita tidak menonjol. Barangkali lantaran jumlahnya yang sangat sedikit. Artinya, politisi yang kulitnya coklat-coklat atau sawo matang, atau apapun istilahnya (coklat gosong, barangkali?) masih mendominasi. 

Di luar kedua dunia itu, memang banyak kalangan Pemerintah sejak Orde Baru yang mengagumi para londo. Bahkan mereka mengakui keunggulan para londo, sampai ke taraf yang cenderung merendahkan kemampuan bangsa sendiri.

Alasan untuk mengunggulkan kaum londo itu kiranya berbungkus "penguasaan" teknologi. Akan tetapi pasti juga ada alasan lain yang tak pernah diungkapkan kepada publik oleh Pemerintah. Misalnya saja, sebagai syarat yang melekat pada program bantuan asing.

Oleh karena itulah banyak kita jumpai londo-londo di departemen-departemen pemerintahan. Tentu saja gaji mereka berpuluh kali lipat dari gaji anak bangsa sendiri.

Saat hal ini saya tanyakan kepada salah seorang dari para londo itu, jawabannya merupakan sejumlah elemen yang penting diperhatikan oleh Pemerintah kita dalam memberi gaji/upah kepada bangsa sendiri.

Apa jawaban mereka? Pada intinya: "Wah, kami kan harus hidup layak seperti di negeri kami; kami harus sewa rumah; kami harus punya mobil; kami harus bayar asuransi".

Daftar elemen tersebut tentu bisa diperpanjang. Pokoknya harus bisa mendukung alasan mereka untuk memperoleh gaji minimal USD10.000 sebulan (di luar dunia bisnis). Tentu saja itu numerasi beberapa tahun berselang.

Namun, terkadang, persyaratan yang mereka minta terasa berlebihan juga. Kalau rumah, yah harus punya kolam renang. Padahal di negerinya sendirinya pun belum tentu mereka punya kolam renang. Furniture harus begini, harus begitu, dan lain sebagainya.

Makanya orang sering bilang bahwa negeri kita ini ibarat surga bagi para londo.

Tetapi bagaimana realitas keunggulan penguasaan teknologi mereka? Ini merupakan suatu wilayah yang perlu dipersoalkan. Banyak londo yang dipekerjaan di bidang teknis oleh Pemerintah kita, terutama pada masa Orde Baru, menyandang predikat "engineer". Dengan gelar mentereng seperti itu, mereka dianggap atau diperlakukan sama dengan "insinyur".

Karena itu mereka di tempatkan pada posisi supervisi terhadap para pegawai atau pejabat kita. Faktanya, banyak protes dari para "bawahan" tersebut bahwa mereka lebih ahli atau pintar daripada para londo "bos" itu. Tentu banyak di antara kita yang pernah mendengar anggapan bahwa para "engineers" itu sebenarnya tukang di negeri mereka sendiri. Image itu hilang lantaran gaji yang tinggi serta, of course, dasi dan jas yang mereka pakai sehari-hari.

(Mungkinkah dari anggapan tersebut Rano Karno terinspirasi untuk menggunakan istilah "tukang insinyur" dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan?)

Nyatanya tidak ada protes anak negeri yang didengar oleh Pemerintah. Karena itu kekecewaan para karyawanlah yang kita dengar di sana sini. Betapa tidak. Mereka yang kerja setengah mati, tetapi para londo yang menikmati gaji tinggi.

Memang saya amati bahwa pada masa Orde Baru, Pemerintah kita silau akan kehadiran (kembali) para londo di negeri ini. Tampaknya mereka masih kagum (seperti masyarakat pedesaan di era 1970an) akan para londo. Tidak mustahil ini disebabkan sisa-sisa pengaruh "white men's burden", seperti yang ditanamkan kaum kolonial (dan post-colonial) di negara-negara sedang berkembang dulu.

Bagaimanapun, kesilauan itu terasa aneh bagi saya. Bukankah para penguasa Orde Baru itu kebanyakannya merupakan veteran yang membebaskan negeri ini dari penjajahan? Bahkan mereka berani melawan kekuasaan kolonial dengan hanya menggunakan bambu runcing? Mengapa setelah berkuasa justru mereka sendiri yang "takut" sama londo?

Karena itu dengan sedih saya mencatat bahwa jikalau 60 tahun yang lalu kita telah mengalami proses dekolonialisasi, maka sekarang agaknya kita mulai kembali memasuki era rekolonialisasi. 

Kalau memang begitu, buat apa para pendahulu kita mempertaruhkan harta dan jiwa mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan kepada bangsa ini?

Saya tidak ingin mengatakan bahwa perjuangan mereka  sia-sia. Dan saya juga tidak ingin disebut sebagai xenophobia.---

 



 






No comments:

Post a Comment