Sunday, March 11, 2012

PESANTREN DAN PENGHAPUSAN IAIN

Banyak sudah IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang  berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dalam beberapa tahun terakhir ini. Umpamanya saja, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta telah berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri Hidayatullah.

Tampaknya perubahan ini terjadi seiring dengan banyaknya para lulusan luar negeri (antara lain, dari Kanada) yang kembali ke almamater mereka. Setelah terjadi di Jakarta, angin perubahan ini bertiup kencang di seluruh Indonesia, sampai-sampai menerpa IAIN Ar-Raniri di Banda Aceh .

Ketika bertemu dengan sejumlah tokoh IAIN Ar-Raniri di Banda Aceh beberapa bulan yang lalu, saya minta mereka agar tidak tersapu oleh angin perubahan itu. Jawaban yang saya peroleh: "Sudah terlambat, Pak. Kami sudah mengusulkannya ke Jakarta. Tapi kami tidak akan menjadi seperti UIN Syarif Hidayatullah".

Saya tidak yakin benar kalau mereka akan mampu menghadang badai besar yang sedang melanda umat Islam Indonesia itu. Tokh banyak juga tokoh IAIN di Aceh itu yang jebolan dari negara-negara Barat.

"Ya, sudah", kata saya. Namun saya sempat berpesan kepada mereka, agar cita-cita yang diasung ketika membentuk IAIN di Banda Aceh pada tahun 1959 jangan sampai dikhianati, apalagi sekarang Aceh sudah menjadi daerah berlakunya syariat Islam.

Saat redanya pemberontakan Darul Islam pada tahun 1959, rakyat Aceh menghendaki adanya keseimbangan antara pengembangan ilmu dunia dengan ilmu akhirat. Untuk pengembangan ilmu dunia, maka dibentuklah Universitas Syiah Kuala. Pada saat yang sama dibentuk pula IAIN Ar-Raniri sebagai sarana bagi pengembangan ilmu akhirat.

Saya kira hal yang sama dikehendaki juga oleh masyarakat Islam di provinsi-provinsi lain. 

Namun saya melihat bahwa perubahan nama IAIN menjadi UIN sekarang ini sudah (dan akan lebih jauh) mengakibatkan terjadinya pergeseran di dalam pengembangan ilmu. Pengembangan ilmu dunia sudah dan akan terus menggeser cita-cita umat Islam Indonesia untuk mengembangkan ilmu akhirat.

Itulah sebabnya mengapa tokoh-tokoh IAIN di Banda Aceh itu saya ingatkan.
  
Akan tetapi, di lain pihak, saya melihat bahwa trend perubahan orientasi UIN merupakan suatu blessing in disguise bagi perkembangan pesantren di seluruh Tanah Air. Kesempatan ini muncul dengan sendirinya tanpa harus direbut. Ya, tanpa harus diperjuangkan.

Ini merupakan suatu perkembangan yang sangat positif. Tetapi sekaligus pula hal ini juga sebuah tantangan. 

Betapa tidak. Bidang pengembangan agama yang ditinggalkan oleh UIN akan dapat meningkatkan peranan pesantren sebagai wadah tunggal dan unggul dalam pengembangan "ilmu" Islam di negeri ini. Tentu saja, ini di luar peranannya dalam penyebaran, dan penguatan penyebaran, Islam di Indonesia.

Namun saya perlu juga menghimbau dan mengingatkan agar para kiai tidak atau jangan sampai lengah. Jangan karena tidak ada lagi saingan, maka mereka "berleha-leha" di dalam menangani aspek pengembangan ilmu akhirat yang telah ditinggalkan oleh UIN. Jika itu yang terjadi, maka akan fatal akibatnya buat umat Islam Indonesia dan dunia.---

No comments:

Post a Comment