MASALAH ZONA WAKTU INDONESIA
Sejak merdeka, seingat saya, Indonesia sudah dua kali mengalami perubahan zona waktu. Di tahun 1950an, ada waktu Sumatera Utara, Waktu Sumatera Selatan, Waktu Jawa, Waktu Kalimantan, dst. Zona-zona waktu tersebut sangat terkait dengan peredaran matahari. Artinya, matahari terbit lebih kurang pukul 6 pagi, dan terbenam pada jam 6 sore.
Zona waktu yang demikian banyak di suatu negara yang luas seperti Indonesia ini, memang cukup membingungkan dan menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu, untuk praktisnya, pada tahun 1960an, Pemerintah Indonesia membagi negeri ini atas 3 zona waktu: Barat, Tengah dan Timur. Kemudian di tahun 2000an, ada koreksi kecil. Bali yang semula masuk wilayah waktu Indonesia Barat, digeser masuk ke dalam zona waktu Indonesia Tengah.
Pengaturan waktu yang demikian memang praktis, namun tidak natural. Pukul 6 pagi di Banda Aceh, di ujung barat zona Waktu Indonesia Barat, cuaca masih temaram, sementara di ujung timurnya, Banyuwangi, cuaca sudah terang benderang. Cuaca lebih berbeda lagi di kedua zona waktu Indonesia lainnya.
Perbedaan cuaca tentu saja berpengaruh terhadap suasana dan ritme kehidupan manusia. Sebagai contoh saja, orang Jakarta jarang sekali memulai rapat atau seminar sebelum jam 9 pagi, padahal waktu itu sudah cukup siang untuk masyarakat Pontianak. Sama-sama pukul 9 pagi, tetapi suasananya berbeda.
Sekarang ini Pemerintah mau cuek-cuek saja terhadap masalah cuaca lokal dan ingin menerapkan satu zona waktu untuk seluruh wilayah Indonesia. Boleh-boleh saja, sebab ada juga negara lain, dengan spread wilayah yang sangat luas, yang berbuat demikian. Contohnya, India dan Cina, masing-masing punya hanya satu zona waktu. Sementara itu Australia masih memiliki 3 zona waktu.
Jadi, membagi Indonesia atas sekian zona waktu, dengan mengabaikan faktor alamiah, merupakan suatu keputusan politik. Sah-sah saja. Juga sah-sah saja mengkaitkan zona waktu dengan aspek ekonomi atau pun bisnis.
Karena itu, Pemerintah merencanakan untuk melakukan 'penyatuan' zona waktu yang diberengi dengan 'pemajuan' waktu. Nanti waktu zona Indonesia akan disetarakan dengan GMT+8. Artinya waktu Indonesia akan sama dengan waktu Singapura dan Malaysia.
Penyamaan zona waktu Indonesia dengan Singapura sebenarnya bukanlah soal baru. Ide tersebut sudah dimunculkan pada akhir 1980an, tetapi tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah, sehingga tidak memasyarakat.
Rupanya sekarang Pemerintah sudah meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terdorong dengan adanya koreksi atas waktu. Sebab, dengan memajukan waktu disertai penerapan zona waktu tunggal di seluruh Indonesia, maka kegiatan rakyat akan bisa dilakukan lebih dini. Begitu argumentasinya.
Tetapi menurut saya, argumentasi itu masih bisa diperdebatkan. Jangan mengkaitkan ketidakmampuan kita menggerakkan kegiatan ekonomi dan bisnis dengan masalah waktu, karena tidak ada relevansinya. Simaklah contoh singkat berikut ini.
Waktu Bangkok sama dengan Waktu di Jakarta atau WIB, tetapi perekonomian Thailand lebih maju daripada kita. Sementara itu, Jepang dan Korea yang jauh lebih maju lagi, padahal zona waktunya 2 jam di belakang Jakarta.
Jadi, menurut saya, sangatlah naif jika kita mengira bahwa pertumbuhan ekonomi dan bisnis kita bisa dipacu dengan melakukan perubahan zona waktu. Saya yakin bahwa masalah kita bukan soal zona waktu, melainkan soal ketidakmampuan Pemerintah untuk mengelola negeri ini dengan baik.
Dengan mengatakan demikian tidak berarti saya mengabaikan faktor kultural masyarakat. Sedikit banyak ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa kultur bangsa kita kurang responsif terhadap bisnis dan kegiatan ekonomi. Keadaan ini bisa (dan harus) dikoreksi. Tetapi, itulah yang tidak dilakukan oleh Pemerintah.
Karena itu, sekali lagi, jangan kaitkan kemajuan ekonomi dengan masalah zona waktu. Nanti kita ditertawakan orang.---
Jadi, membagi Indonesia atas sekian zona waktu, dengan mengabaikan faktor alamiah, merupakan suatu keputusan politik. Sah-sah saja. Juga sah-sah saja mengkaitkan zona waktu dengan aspek ekonomi atau pun bisnis.
Karena itu, Pemerintah merencanakan untuk melakukan 'penyatuan' zona waktu yang diberengi dengan 'pemajuan' waktu. Nanti waktu zona Indonesia akan disetarakan dengan GMT+8. Artinya waktu Indonesia akan sama dengan waktu Singapura dan Malaysia.
Penyamaan zona waktu Indonesia dengan Singapura sebenarnya bukanlah soal baru. Ide tersebut sudah dimunculkan pada akhir 1980an, tetapi tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah, sehingga tidak memasyarakat.
Rupanya sekarang Pemerintah sudah meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terdorong dengan adanya koreksi atas waktu. Sebab, dengan memajukan waktu disertai penerapan zona waktu tunggal di seluruh Indonesia, maka kegiatan rakyat akan bisa dilakukan lebih dini. Begitu argumentasinya.
Tetapi menurut saya, argumentasi itu masih bisa diperdebatkan. Jangan mengkaitkan ketidakmampuan kita menggerakkan kegiatan ekonomi dan bisnis dengan masalah waktu, karena tidak ada relevansinya. Simaklah contoh singkat berikut ini.
Waktu Bangkok sama dengan Waktu di Jakarta atau WIB, tetapi perekonomian Thailand lebih maju daripada kita. Sementara itu, Jepang dan Korea yang jauh lebih maju lagi, padahal zona waktunya 2 jam di belakang Jakarta.
Jadi, menurut saya, sangatlah naif jika kita mengira bahwa pertumbuhan ekonomi dan bisnis kita bisa dipacu dengan melakukan perubahan zona waktu. Saya yakin bahwa masalah kita bukan soal zona waktu, melainkan soal ketidakmampuan Pemerintah untuk mengelola negeri ini dengan baik.
Dengan mengatakan demikian tidak berarti saya mengabaikan faktor kultural masyarakat. Sedikit banyak ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa kultur bangsa kita kurang responsif terhadap bisnis dan kegiatan ekonomi. Keadaan ini bisa (dan harus) dikoreksi. Tetapi, itulah yang tidak dilakukan oleh Pemerintah.
Karena itu, sekali lagi, jangan kaitkan kemajuan ekonomi dengan masalah zona waktu. Nanti kita ditertawakan orang.---
No comments:
Post a Comment