Ini memang suatu masalah yang sulit bagi Antasari Azhar. Dalam posisinya sebagai narapidana yang telah ditolak hak PK-nya oleh Mahkamah Agung, dia harus memilih antara mengajukan permohonan grasi kepada Presiden atau tidak. Kalau dia meminta grasi, maka itu berarti dia mengakui kesalahannya, terlepas dari apakah putusan pengadilan benar atau salah. (Putusan pengadilan tidak selalu harus benar. Ingat, antara lain, kasus Sengkon dulu.)
Pengakuan bersalah itu bukanlah soal enteng bagi seseorang yang telah diputuskan bersalah oleh pengadilan, apalagi kalau putusannya sudah bersifat inkracht (berkeputusan tetap). Pertimbangannya adalah bahwa kalau seorang narapidana mengajukan grasi, berarti dia dimaknai secara hukum sebagai mengakui bahwa putusan pengadilan atas kasus hukumnya sudah benar. Singkatnya, dia mengakui bahwa dia bersalah.
Sebaliknya, bila dia menolak mengakui bersalah, maka dia tidak akan mengajukan permintaan grasi. Artinya, dia mempertahankan prinsipnya dan memilih tetap berada di penjara.
Bagi orang yang berprinsip, mengakui sesuatu perbuatan hukum yang tidak dilakukannya memang terasa berat. Oleh karena itu, ketika saya dihadapkan pada masalah seperti itu beberapa tahun yang lalu, maka saya memilih untuk tidak mengajukan grasi. Padahal saat itu peluang tersebut dibuka oleh Presiden SBY, melalui seorang politisi terhormat, dengan catatan dari SBY bahwa dengan mengajukan grasi tidak selalu berarti bahwa seorang narapidana itu mengakui bahwa dia bersalah.
Dalam pemaknaan hukum (dan masyarakat luas), permohonan grasi dikaitkan dengan pengakuan bersalah. Karena itu, saya menolak untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Namun saya bisa memahami seandainya Antasari Azhar memutuskan untuk mengajukan permohonan grasi. Sebab, tanpa grasi itu berarti dia harus mendekam dalam penjara selama 18 tahun (minus masa yang telah dijalaninya di bui). Sementara kalau dia mendapat grasi, maka dia akan bebas. Hanya saja, cap dari sebagian masyarakat (yang tidak mau tahu duduk persoalannya) bahwa dia mengakui telah melakukan pembunuhan, akan terus melekat.
Kini pilihan bagi Antasari adalah apakah dia mau keluar dari penjara atau tidak. Untuk itu, setelah PK-nya ditolak MA, maka satu-satunya jalan adalah minta grasi yang berarti bahwa dia mengakui bersalah (sekalipun saya dan sebagian masyarakat lainnya yakin bahwa dia tidak bersalah). Apabila dia tidak mau mengajukan permohonan grasi, berarti masih panjang lagi waktu bagi dia untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarganya.
Jadi, saya bisa memahami apabila Antasari meminta grasi. Namun perlu juga dipertimbangkan, bagaimana pula seandainya Presiden menolak permohonan grasinya?
Sungguh sulit posisi Antasari Azhar. Saya prihatin.
No comments:
Post a Comment