Thursday, March 22, 2012

MENGATASI KEMACETAN JAKARTA

Suasana kemacetan di jalan-jalan Jakarta memang sudah sangat memprihatinkan. Bahkan memalukan. Mengapa? Karena Jakarta sekarang ini berfungsi bukan saja sebagai ibukota RI, tapi lebih lagi dari itu: Jakarta sudah jadi kota yang mendunia. Salah satu metropolitan terbesar di dunia.

Karena itu kemacetan yang setiap hari terjadi di Jakarta ini sudah jadi bahan pembicaraan (kejengkelan!) kalangan diplomatik dan bisnis internasional yang ada di Jakarta. Tentu saja omongan tersebut terbawa-bawa dalam pergaulan mereka di luar negeri. 

Apa anda tidak malu Pak Gubernur DKI? Apa tidak malu kita? 

Yang pasti kita semua jengkel. Setiap hari kita menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu setengah jam saja. Bayangkan berapa banyak waktu kita yang terbuang; berapa pula BBM yang kita boroskan.

Apa Pemerintah DKI tidak concern? Pasti concern. Tetapi apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI. Pasti ada. Umpamanya saja pembuatan 'jalan bertingkat', underpass, dlsb.

Namun dari apa yang sudah dikerjakan itu, saya yakin tidak akan dapat menyelesaikan masalah kemacetan di Ibukota kita ini secara tuntas. Kalaupun itu membantu, bantuan itu hanya bersifat sementara dan setempat saja.

Perlu ada tindakan yang merata di seluruh kota. Kalau tidak begitu, langkah-langkah konkrit yang sudah diambil akan menjadi sia-sia saja.

Saya melihat perlu ada kebijakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk mengatasi masalah ini.

Pertama, dalam jangka pendek, polisi harus mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang melanggar aturan lalu lintas. 

Kedua, lebih spesifik, tindak tegas para pemotor yang mengendarai secara berlawanan arah, yang sekarang ini juga sudah menjadi 'hal biasa'. Kiranya, dalam kaitan ini, sudah cukup banyak korban yang jatuh.

Ketiga, tindak tegas juga semua pelanggar lampu lalu lintas dan zebra cross

Keempat, tegaskan lagi kebijakan yang mengharuskan pemotor bergerak di jalur paling kiri jalan, sehingga mereka tidak bebas berzigzag. Perilaku pemotor seperti itu sangat berbahaya, dan memperlambat laju kendaraan lain. Ini juga merupakan sebuah sumber kemacetan.

Kelima, larang semua kegiatan Pak Ogah di semua jalanan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bantuan yang diberikan oleh Pak Ogah kepada pengemudi tertentu justru menyebabkan kemacetan bagi pengemudi lainnya. Dalam kaitan ini Dinas Perhubungan (?) perlu membantu dengan menutup tempat-tempat putaran tertentu, sehingga tidak terlalu dekat satu sama lainnya.

Diluar keempat jurus itu, yang tidak pula kalah pentingnya adalah bahwa polisi juga harus mengubah prilakunya dalam mengatus lalu lintas.Umpamanya saja, polisi jangan pernah lagi menyuruh pengendara melanggar aturan lalu lintas (termasuk traffic lights) dalam keadaan apapun juga.

Saya masih ingat, dulu polisi sering mengutak-atik lampu lalu lintas secara manual, padahal lampu-lampu tersebut sudah computerized. Untunglah sekarang para polisi kita sudah menghentikan tindakan buruk itu, setelah 'dibuat mengerti' oleh vendor Australia.

Tetapi kini ulah polisi kita lain lagi. Di perapatan 'lampu merah' para pemotor disuruh berhenti setelah garis stop. Ini jelas melanggar aturan. Akibatnya, para pemotor bergerak lambat saat lampu berubah hijau, sehingga menghambat gerakan mobil di belakang mereka.

Jadi, polisi harus koreksi diri. Semua 'tradisi baru' yang sudah mereka ajarkan itu selama ini kepada para pengguna jalan, harus dihentikan. Para pengguna jalan harus di-reeducate lagi dalam suatu sosialisasi praktis yang waktunya harus sangat singkat (jangan lebih dari 1 minggu). Sudah itu, tindak tegas para pelanggar tanpa tedeng aling-aling!

Itu semua untuk jangka pendek.

Untuk jangka menengah dan jangka panjang, Pemerintah DKI perlu menerapkan sistem blok dalam pembangunan kota. Sistem blok ini membutuhkan jalan-jalan lingkungan baru di jalur-jalur utama kota. Sistem ini akan mencegah terjadinya pemusatan kendaraan lantaran banyak kegiatan bisnis yang dibangun di 'pedalaman kota' yakni di jalan-jalan lingkungan. Langkah ini pasti akan 'menyedot' sebagian arus lalu lintas dan perparkiran ke jalan-jalan lingkungan tersebut. 

Menurut saya, kemacetan di Jalan Sudirman dan Thamrin terjadi karena konsep pembangunan yang tidak berdasarkan pada sistem blok tersebut, sebagaimana lazimnya di kota metropolitan dunia lainnya. Dalam hal ini, Pemerintah DKI tidak merencanakan atau gagal menerapkan pembangunan berdasarkan sistem blok tersebut. Barangkali istilahnya dalam bahasa Pemerintah DKI adalah 'membangun tidak sesuai dengan tata ruang'.

Apapun juga alasannya yang pasti adalah bahwa kurang banyak pembangunan jalan yang paralel dan memotong (melintang) di jalur Sudirman dan Thamrin. Jalan-jalan tersebut harus dibangun oleh Pemerintah DKI untuk membentuk blok-blok kota.

Mana yang untuk jangka menengah dan yang mana pula untuk jangka panjang? Kedua jangka ini ditentukan oleh prioritas Pemerintah DKI. 

Namun bagi saya  kedua jangka tersebut menggambarkan tingkat kemudahan dan kesulitan dalam pelaksanaannya. Yang paling mudah dilaksanakan tentulah menjadi jangka menengah, sementara yang lebih sulit, masuk ke dalam jangka panjang.---

5 comments:

  1. Good analysis pak.. Tp menurut sy kurang fair kalau jurus2 itu cuma diarahkan ke pengendara motor dan polisi saja. Mereka cuma korban dari pembangunan dan kebijakan transportasi yg amburadul di jakarta. Akan menarik kalo bapak juga mengamati untuk siapa sebenarnya kebijakan 3in1 di jakarta. Dimana semua orang berusaha survive utk sampai kantor yg semua terpusat di kawasan business segitiga emas tanpa punya alternative tranportasi. Termasuk jg para pejabat yg merasa urusannya penting itu menggunakan pembuka jalan yg arogan untuk bisa sampai tepat waktu. Semoga pembahasan ini terdengar dan disikapi positif. Kita semua perlu introspeksi.

    ReplyDelete
  2. Salam kenal pak, cukup menarik tulisannya. Ijinkan sy berbagi pemikiran, menurut saya diatas hal hal teknis penyebab kemacetan kita jg harus melihat peran pemerintah. Menurut saya banyaknya volume kendaraan bermotor, tata tertib lalu lintas, perilaku/attitude pengguna kendaraan bermotor, polisi, dsb itu hanyalah buntut kecil dari masalah holistik yang lebih besar. Menurut saya pemerintah sebagai pengelola kota dki belum berfungsi maksimal dalam menata kotanya. Seharusnya ada langkah konkrit untuk menata kota, membatasi kendaraan jumlah kendaraan bermotor, dengan begitu akan banyak space di jalan untuk membenahi publik transport....sayangnya ini ranta yang hilang. Seolah-olah semua berjalan tumbuh tanpa ada sinkronisasi, jadilah problem kemacetan. Saya rasa masalah utama ada di top rantai. Namun ada beberapa yg saya sependapat seperti jangka panjang menata blok kota, itu sy pernah tweet kan jg. Namun untuk bisa mencapaimitu volume kendaraan harus ditekan, kompensasinya masyarakat harus punya pilihan tanpa pakai kendaraan pribadi mereka bisa kemana mana dengan nyaman....sekedar sharing. Salam, [harya] @haryanayaka

    ReplyDelete
  3. Trims untuk masukannya. Sy ingin masalah mendesak yang diatasi lbh dulu dlm jangka pendek; ini realitas sehari2 yg kt hadapi sekarang ini. Saya tdk begitu concern dg jumlah kendaraan yg semakin bertambah, asalkan wilayah perkotaan diatur dalam sistem blok, shg panjang jalan bertambah dan kegiatan masyarakat tidak lagi terpusat di jalan2 utama. Pasti, pembangunan sistem transportasi masal tdk boleh ditunda lagi.

    ReplyDelete
  4. Persoalan transportasi di negara kita ini memang seperti benang kusut sih Pak. Saya suka mengamati bagaimana public transport kita dijalankan : Pemerintah/Pemerintah Daerah 'meng-klaim' tidak memiliki dana cukup untuk menyediakan aramada transpor publik seperti bus (yang kalau dinegara lain bahkan ada yg dijadikan sebagai public service obligation pemerintah), lalu diserahkan pada swasta yang tergabung pada Organda, Organda berorientasi keuntungan sebesar2 nya sehingga menerapkan sistem setoran, tidak pernah memikirkan perawatan armadanya. Sistem setoran diterapkan karena kalau diterapkan sistem karcis, ujung2 nya pasti pemasukan dari karcis akan ditilep oleh para supir yg menarik uang langsung dari konsumen. Tapi dengan diterapkannya sistem setoran yg terjadi adalah supir bis kebut2an utk berebut 'sewa', ngetem disembarang tempat dan berlama2 supaya bis nya penuh sekali tarik. Jadi memang serba salah jadinya. Ditambah dengan penegakan hukum yang lemah : SIM bisa ditembak, Uji KIR kendaraan hanya formalitas..lengkap sudah penderitaan bangsa ini dalam hal transportasi masal. Dengan ketiadaan sistem Mass Rapid Transport yg baik, nyaman dan aman, otomatis lebih banyak orang berpaling ke alternative penggunaan alat transportasi pribadi. Jika banyak mobil motor pribadi maka kemacetan meraja lela, BBM habis menguap di knalpot2, negara disibukkan oleh subsidi BBM seperti sekarang. Intinya (dan sedihnya) rasanya tidak ada yang benar selama yang menjalankan pemerintahan dan peraturan masih sama2 berambut hitam :(

    ReplyDelete
  5. salam kenal Prof. mengenai kemacetan JKT, harusnya jakarta mencontoh kota2 besar lain, yaitu membuat sistem manajemen transportasi massal. Yang paling pertama adalah menerapkan ZONANISASI dlm pola transportasi. semua kota besar dunia yg baik public transportnya pasti memiliki zona dan sistem tiketing. dan ditrapkan ke berbagai moda, baik kota2 yg memilki MRT/LRT maupun yg hanya bertumpu pada kereta konvensional dan bis umum. sistem zona, tiketing dan terjadwal akan memecahkan masalah mahalnya transport bagi warga yg mobile dlm aktifitas kesehariannya. menjamin ketepatan waktu tempuh dan ada kepastian pemasukan bagi pengelola transportasi. hanya sedikit pendapat dari orang awam

    ReplyDelete